طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

TERNYATA ADA GHIBAH YANG TIDAK DILARANG : 6 Ghibah Yang Dibolehkan Ulama Madzhab Syafi’i

with 7 comments


GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN

IMAM NAWAWI RAHIMAHULLAH


Pengantar

Dalam Riyadlus Shalihin,  kitab al-Umurul Manhie ‘anha (Hal-hal yang dilarang dalam agama), Imam Nawawi رحمه الله –salah seorang tokoh ulama besar dari madzhab Syafi’i—menyebutkan satu bab khusus Maa Yubaahu Minal Ghibah (Apa-apa yang diperbolehkan dari Ghibah), setelah beliau رحمه الله menjelaskan tentang haram dan bahaya ghibah, agar kita tidak mudah melakukan ghibah dan tidak pula melampaui batas dalam menjauhinya, sehingga tidak mau memperingatkan bahaya penyimpangan-penyimpangan aliran sesat.

Ucapan Imam Nawawi رحمه الله

Dalam kitab tersebut , beliau رحمه الله berkata: “Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar sesuai dengan syariat, yang hal itu tidak mungkin ditempuh kecuali dengan ghibah. Yang demikian terjadi dengan enam sebab:

Pertama: mengadukan kedhaliman

Orang yang terdhalimi diperbolehkan untuk melaporkan perbuatan pelakunya kepada penguasa, hakim atau yang lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memperlakukannya secara adil. Seperti seorang yang berkata: “Si fulan mendhalimi aku demikian dan demikian”.


Kedua: Meminta bantuan dalam mengingkari kemungkaran atau mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar

Untuk melakukan hal di atas, diperbolehkan untuk mengatakan kepada seorang yang diperkirakan dapat membantu menghilangkan kemungkaran: “Fulan berbuat begini dan begitu, tegurlah ia”, atau kalimat-kalimat semisalnya. Tujuannya adalah menghilangkan kemungkaran dan mengembalikannya pada jalan yang benar. Jika bukan itu tujuannya, maka hal ini diharamkan.

Ketiga: Meminta fatwa

Diperbolehkan berkata kepada seorang mufti (ulama yang berfatwa): “Ayahku berbuat dhalim kepadaku” atau “Saudaraku, suamiku atau fulan berbuat begini dan begitu kepadaku. Apakah yang demikian diperbolehkan? Dan bagaimana sikapku untuk menghindarinya dan kembali mendapatkan hak-hakku serta menghindari kedhaliman tersebut?”, atau kalimat yang semisalnya.

Jika hal ini diperlukan, maka yang demikian diperbolehkan. Namun yang lebih utama hendaknya mengucapkannya dengan samar, seperti perkataan: “Seseorang atau seorang suami berbuat demikian”. Karena dengan cara ini telah cukup untuk mencapai maksud dan tujuannya, tanpa perlu menyebutkan nama orang tertentu (ta’yin). Walaupun demikian menyebutkannya dengan ta’yin itu pun diperbolehkan sebagaimana yang akan kami sebutkan dalam hadits tentang Hindun, Insya Allah.


Keempat: memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan dan kejahatan seseorang serta menasehati mereka dari bahayanya

Hal di atas ada beberapa sisi, di antaranya:

– menjauhi perawi-perawi hadits yang dlaif atau saksi-saksi yang tidak terpercaya. Yang demikian diperbolehkan menurut kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya dapat menjadi wajib ketika diperlukan.

– Musyawarah dalam masalah pernikahan seseorang atau dalam hubungan dagang, penitipan barang atau muamalah-muamalah lainnya. Wajib bagi seorang yang diajak musyawarah untuk menerangkan keadaan sebenarnya dan tidak boleh menyembunyikan keadaannya, bahkan harus disebutkan kejelekan-kejelekan dan aib-aib yang ada pada orang tersebut dengan niat menasehatinya.

– Jika seorang pencari ilmu fiqh mendatangi ahlul bid’ah (aliran sesat) atau orang yang fasiq untuk mengambil ilmu, sementara dikhawatirkan dia akan mendapatkan kejelekan, maka kita perlu menasehatinya dengan menjelaskan keadaan orang itu sebenarnya dengan syarat meniatkannya sebagai nasehat.

Namun ini yang sering disalahgunakan. Kadang-kadang seorang yang berbicara seperti itu ternyata hanya karena dorongan hasad (iri dan dengki), sedangkan setan mengkaburkan terhadapnya dan menggambarkan seakan-akan itu adalah nasehat. Maka hendaklah kita memperhatikannya dengan jeli.

– Jika ada seorang yang memiliki tanggung jawab kepemimpinan, tetapi dia tidak melaksanakannya dengan baik. Apakah karena memang ia tidak cocok untuk tugas itu atau dia adalah seorang yang fasik dan lalai, dan semisalnya. Wajib menyebutkan keadaan orang tersebut kepada orang yang berada di atasnya dalam hal kekuasaan, agar memecat dan menggantinya dengan orang yang lebih baik. Atau paling tidak diberitahu atasannya agar orang tersebut diperlakukan sebagaimana mestinya dan tidak tertipu dengan sikapnya yang seakan baik, atau agar atasannya berupaya membimbing dan menganjurkan agar orang tersebut istiqamah atau merubah perbuatannya.

Kelima: orang yang terang-terangan dalam berbuat kefasikan atau kebid’ahan

Seperti dia terang-terangan minum khamr, pemeras manusia, pencatut, merampas harta manusia dengan dhalim, melakukan perkara-perkara yang bathil. Dalam hal ini boleh disebutkan kejelekan yang ia lakukan secara terang-terangan tersebut, namun diharamkan menyebutkan aib-aib lainnya, kecuali kalau ada alasan lain yang membolehkannya seperti yang telah disebutkan di muka.

Keenam: mengenalkan

Jika seseorang dikenal dengan julukannya seperti “si juling”, “si pincang”, “si tuli”, atau “si buta” dan lain-lain, maka  boleh mengenalkan orang tersebut dengan julukan-julukannya. Namun tidak boleh menyebutkannya dengan maksud mengejek dan merendahkannya. Kalau memungkinkan untuk dikenalkan dengan selain itu, maka hal tersebut lebih baik.

Inilah enam perkara yang merupakan sebab diperbolehkannya ghibah yang disebutkan oleh para ulama, yang kebanyakannya disepakati secara ijma’.

Dalil-dalilnya sangat banyak dan shahih dan sangat dikenal, di antaranya:

Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنها, beliau berkata:

اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ. (متفق عليه)

Seseorang meminta izin kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian beliau صلى الله عليه وسلم berkata: “Izinkanlah baginya, sungguh dia adalah sejelek-jelek seorang di antara sukunya”. (HR. Bukhari Muslim)

Imam Bukhari رحمه الله mengambil hadits ini sebagai dalil bolehnya ghibah terhadap orang yang jelek perangainya dan memiliki penyakit keraguan.

Diriwayatkan dari Aisyah رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا. (رواه البخاري)

Aku tidak mengira kalau fulan dan fulan itu mengerti agama ini sedikit pun. (HR. Bukhari)

(Yakni meremehkan keilmuan dua orang tersebut. Pent.)

Berkata Laits ibnu Sa’ad –salah seorang perawi hadits ini–: “Dua orang tersebut adalah dari kalangan munafiq”.

Diriwayatkan dari Fathimah binti Qais رضي الله عنها, dia berkata: aku mendatangi nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian aku katakan: “Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyyah melamarku”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ… (رواه مسلم)

“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni sering memukul). Adapun Mu’awiyyah, dia miskin tidak punya harta.. (HR. Bukhari Muslim)

Di dalam riwayat muslim: beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:

أَمَّا أَبْو الْجَهْمِ فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ.

“Adapun Abu Jahm banyak sering memukul perempuan”.

Ini merupakan tafsir dari ucapan beliau “Dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya”. Dikatakan pula bahwa maknanya adalah sering safar (bepergian).

Diriwayatkan Dari Zaid bin Arqam رضي الله عنه, ia berkata:

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ أَصَابَ النَّاسَ فِيهِ شِدَّةٌ. فَقَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ِلأَصْحَابِهِ: لاَ تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِهِ. وَقَالَ: لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ اْلأَعَزُّ مِنْهَا اْلأَذَلَّ. فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ. فَأَرْسَلَ إِلَى عَبْدِاللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ فَسَأَلَهُ فَاجْتَهَدَ يَمِينَهُ مَا فَعَلَ. قَالُوا: كَذَبَ زَيْدٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِمَّا قَالُوا شِدَّةٌ حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ تَصْدِيقِي فِي (إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ) فَدَعَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَلَوَّوْا رُءُوسَهُمْ. (متفق عليه)

Kami keluar bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam satu safar, saat itu manusia sedang tertimpa kesusahan. Maka berkatalah (seorang munafiq, pent.) Abdullah bin Ubay: “Janganlah kalian menginfakkan harta kalian kepada orang-orang yang ada di sisi Rasulullah صلى الله عليه وسلم hingga mereka meninggalkannya!” Selanjutnya ia berkata: “Sungguh jika kita pulang ke Madinah nanti, orang-orang mulia (yakni mereka) akan mengusir orang-orang yang rendah (Yakni para shahabat Rasulullah) dari Madinah”. Aku (Zaid) pun mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan melaporkan ucapan tersebut. Maka diutuslah seseorang memanggil Abdullah bin Ubay, ternyata ia bersumpah dengan nama Allah untuk melindungi dirinya. Manusia pun mengatakan: “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم”. Terjadilah dalam hatiku (Zaid) kesedihan yang sangat, hingga turun ayat Allah سبحانه وتعالى  yang membenarkanku:

إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ…

Jika datang kepadamu seorang munafiq…

Akhirnya Nabi pun memanggil mereka untuk memintakan ampun bagi mereka, namun mereka memalingkan wajah-wajah mereka. (HR. Bukhari Muslim)

Diriwayatkan Dari Aisyah رضي الله عنها, beliau berkata:

دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لاَ يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ. (متفق عليه)

Hindun bintu ‘Utbah رضي الله عنها –istri Abu Sufyan—masuk kepada Nabi صلى الله عليه وسلم seraya berkata: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang bakhil, tidak memberiku belanja yang cukup bagiku dan anakku, kecuali kalau aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Ambillah sekedar mencukupimu dan anakmu dengan baik!” (HR. Bukhari Muslim)

Sumber : Bulletin Manhaj Salaf  Edisi: 111/Th. III tanggal 24 Jumadil Akhir 1427 H/15 Juli 2006 M

* * *

Ghibah dan tahdzir bagian dari Nahi Mungkar

Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari
Alhamdulillahi washolatu wassalamu ‘ala Rasulillah, segala puji bagi Allah, sholawat dan salam atas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam, amma ba’du

Qola (berkata) Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali Hafidzohullah (semoga ALLAH menjaganya, red) : Al Amru bil Ma’ruf wa nahyi anil munkar, memerintah kepada yang baik mencegah dari perkara yang munkar adalah kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh ummat ini, dan juga merupakan kewajiban-kewajiban yang paling besar dimana agama tidak akan tegak kecuali dengan keduanya, yang pertama adalah amar ma’ruf (menyuruh yang benar, red) dan yang kedua adalah nahyi munkar (mencegah kejelekan, red).

Al Bayan, keterangan :
Menerangkan perkara yang haq ke hadapan manusia dan tidak menyembunyikannya adalah perkara yang besar yang di dalamnya terdapat janji yang besar yaitu berupa pahala bagi orang-orang yang menjelaskan dan menyampaikannya ke hadapan manusia, menyampaikan al-‘ilmu dan agama Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya ancaman yang keras atas orang-orang yang menyembunyikannya.

Allah berfirman dalam Al Baqarah 159 :
الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَـئِكَ يَلعَنُهُمُ اللّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab (Al Quran), mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela’nati”

Hal ini yaitu menerangkan perkara yang haq kepada manusia dan mengajak orang untuk loyal kepada ahlinya serta menjauhkan manusia dari perkara yang batil dan memerintahkan untuk meninggalkan para ahli batil, itu ditolak dan dikaitkan oleh ahli bid’ah dan ahlul dhalal (sesat) dan sufiyah dengan perkara al Ghibah. Nah, seperti inilah, ahlul bid’ah ketika dikritik mereka akan mencari seribu alasan untuk menghindar dari kritikan itu. Dan Allahul musta’an ketika kita berbicara tentang sii fulan, atau jamaah fulan maka akan datang serta-merta bersama itu tuduhan-tuduhan ghibah.

Ummat sekarang ini sudah banyak tidak tahu tentang masalah gibah. Adapun ahlul bid’ah, makanya ya ikhwan, tentunya tidak mau jika aurat kesesatan mereka itu terbongkar sehingga mereka bersembunyi dengan alasan ghibah. Miskin (tragis, red).. memang mereka ini ahli bid’ah, miskin.. ahlul dhalal dan orang-orang sufiyah ini yang biasa senyum disana senyum disini yang damai disana dan damai disini. Semua dianggapnya sebagai kawan bahkan orang-orang kafir pun dianggap kawan uhffilakum dari mereka-mereka ini.

Ya ikhwaan, hindarkan diri diri kita dari mereka yang mengatakan demikian. Na’am (ya, red), jadi kita jelaskan sekali lagi jadi ahlil bid’ah bersembunyi dari kritikan-kritikan itu dibalik alasan ghibah.

Wa Allahul musta’an ketika ana menulis tentang Abu Qotadah, maka dengan serta-merta datang tanggapan-tanggapan yang hampir semua mengatakan, “Ini ghibah ya akhi, dia seorang da’i tauhid ya akhi !” Dia seorang da’i yang menyerukan untuk meninggalkan bid’ah ya akhi… Maka saya katakan pada mereka aku tidak peduli walaupun 500 orang atau 2000 orang mengenal sunnah melalui tangannya (dakwahnya, red), Abu Qotadah, mengenal bid’ah melalui tangannya Abu Qotadah, tetapi kalau orang itu tidak lurus dan malah bermuamalah dengan ahlul bid’ah Ya opo ? Apa artinya ???

Hal ini semua tidaklah menjadikan saya untuk diam berbicara tentangnya. Orang-orang munafiq mereka mempunyai kebaikan, tetapi tidak sedikitpun Allah menyatakan pujiannya di dalam Al Qur’an. Orang-orang Khawarij, masya Allah, bacaan quran mereka , jidat-jidat meraka hitam, tetapi Rasulullah tetap mencerca mereka, bahkan A’isyah Radhiyallahu ‘anha mengatakan mereka kilabu ahlinnar, anjing ahli neraka. Na’am.

Kalau seandainya perkara menerangkan kepada ummat tentang yang haq dan menjauhkan dari perkara yang batil itu merupakan ghibah, tentu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam telah bergibah, para shahabat telah berghibah, ibnu Umar telah menggibah Qodariyah, Ibnu Abbas telah menggibah Khawarij, maka tentu juga para Tabi’in telah telah bergibah dan semua ulama Islam telah berghibah, dan ini perkara yang mustahil bagi mereka, karena mereka bukan orang-orang yang tidak tahu tentang ghibah.

Dan kita nasehatkan juga kepada orang-orang kecil itu untuk pelajari gibah, membahas secara khusus tentang ghibah agar mereka mengetahui seperti apa yang dinamakan ghibah dan seperti apa yang dinamakan mengkritik secara syar’i. Na’am.

Qola [Syaikh Rabi’] : Wal ghibah Laa Syak annaha haroomun ?, artinya Dan tidak ragu lagi bahwa ghibah merupakan perkara yang diharamkan, dan juga melanggar kehormatan muslimin serta darah-darahnya serta harta-hartanya juga perkara yang diharamkan.

Demikianlah Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam pernah berkhutbah pada hari idul adha seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakroh Radiyallahu ‘anhu beliau berkata: Beliau [Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassalam bertanya “Hari apakah ini ?”. Maka para sahabatnya menjawab Allah dan RasulNya lebih mengetahui, lalu kami diam. Lalu Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassalam bertanya lagi, “Bukankah ini hari Adha ?” Para Sahabat menjawab, Benar Ya Rasulullah. Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Para Sahabat menjawab: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui, lalu kami diam sehngga kami mengira bahwasanya Rasulullah akan menyebutnya dengan nama lain. Rasulullah bertanya lagi, “Apakah ini bulan Haram ?” Yakni para sahabat sebenarnya tahu bahwa ini bulan Haram, tetapi khawatir Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam akan menyebut bulan Haram dengan sebutan lain. Lalu kami jawab, Benar ya Rasullulah. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bertanya lagi
“Negeri Apa ini ?”. Lalu kami diam sampai-sampai kami mengira Rasulullah akan
menyebutkan negeri itu dengan negeri lain, lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bertanya lagi : “Bukankah
ini Negeri Haram yang telah ma’ruf diketahui dan masyhur ?”, maka para Sahabatpun mengetahui bahwa negeri itu negeri Haram, lalu sahabat menjawab: Benar ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian darah-darah kalian dan harta-harta kalian serta kehormatan-kehormatan kalian seperti keharamannya pada hari ini, yakni yang memiliki kehormatan, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini” (Muttaqun ‘alaih).

Jadi jelaslah bahwa dengan hadits yang disampaikan atau diriwayatkan dari Abu Bakroh ini merupakan suatu dalil bahwasanya ghibah itu adalah perkara yang diharamkan, tetapi masalahnya jangan sampai perkara yang ghibah dikatakan bukan ghibah dan yang bukan ghibah juga dikatakan ghibah. Harus ada yang pembedaan antara yang ghibah dan yang bukan.

Tidak setiap menceritakan kejelekan orang lain itu disebut ghibah tetapi harus melihat sisi-sisi ketentuan dari perkara itu, tidak mungkin ya ikhwan para ulama para ahli hadits ketika menceritakan tentang fulan dho’if (lemah, red), fulan kadzab (pendusta, red), fulan begini dan begini, itu dikatakan ghibah. Apakah ada yang mengatakan ini ghibah? Kalau ada orang ini telah majnun [gila], yaa. Tidak mungkin, ya ikhwan, masalah yang seperti ini disebut ghibah.

Ar Rasul shalallahu’alaihi wassalam pernah menceritakan tentang Abu Jahm, Rasulullah juga telah menceritakan tentang Muawiyah ketika mereka ingin meminang seorang shahabiyah (sahabat Rasulullah dari kalangan muslimah) lalu kemudian dua orang ini kembali, lalu Rasulullah menceritakan tentang dua orang ini. Kedua orang ini ketika diceritakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mereka tidak ada di tempat. Apakah kita katakan bahwa Rasulullah telah berghibah, sementara Rasulullah sendiri yang bersabda dalam hadits ini “Allah mengharamkan darah-darah kalian, mengharamkan harta-harta kalian dan mengharamkan kehormatan-kehormatan kalian,…” Na’am.

Wallahu Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al Quran surat Al Hujurat : 12
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. ”

[Qola Syaikh Rabi] Laa syak !, maka tidak ragu lagi bahwasanya daging-daging kaum muslimin ini hukumnya haram, diharamkan bagi seseorang untuk membunuh kaum muslimin, dan orang yang mengghibah saudaranya seolah-olah ia sedang memakan bangkai, dan siapa orang yang sanggup untuk memakan bangkai yang sudah busuk, tentu tidak ada. Tentu saja setiap jiwa ini menolaknya. Akan tetapi demi tercapainya kemaslahatan dan demi tercapainya maksud-maksud Islam, demi terproteksinya agama ini serta terjaganya agama ini, maka Allah Subhnahu wa Ta’ala membolehkan perkara-perkara yang kadang-kadang bentuknya seperti ghibah tapi ia tidak termasuk di dalam ghibah. Maka seorang manusia yang salah yang terjatuh ke dalam kesalahan dan diperingatkan atas kesalahannya itu maka ini adalah perkara yang wajib dan harus dilakukan, dan ini disebut nasihat, disebut pula sebagai bayan sebagai penjelasan, maka ini adalah perkara ushul, mendasar dalam Islam yang harus ditegakkan.

Karena kalau tidak ada yang menegakkan akan tercampur aduklah antara yang haq dan yang batil sementara Allah mengatakan “ditampakkannya yang haq itu dalam rangka menggempur yang batil” sementara kalau yang haq ini tidak digunakan untuk menggempur yang batil maka bisa jadi akan tercampur dengan yang batil atau bahkan kebalikannya yang batil akan menggempur yang haq. Na’am, bila Sunnah itu mati maka bid’ah yang akan hidup bila Sunnah itu hidup maka bid’ah yang akan mati. Dan demikianlah ya ikhwan, jadi kita memperingati orang yang ada padanya mukholafah (penyimpangan, red), yang ada padanya penyimpangan, kemudian kita ingatkan, ini adalah nasihat, dan juga bayan, bukan termasuk permasalahan ghibah.

Qola [syaikh] tujuannya agar agama ini tidak hancur, karena juga kita harus ketahui bahwa betapa banyaknya manusia yang telah bersalah dan betapa banyaknya yang telah terjerumus pada kesalahan dan sangat banyak sekali manusia ? Manusia yang terjerumus dalam kesesatan yang hawa nafsu telah menyetirnya, wal iyadubillah, bahkan sebagian orang-orang sholeh juga yang telah disetir oleh hawa nafsunya sehingga hawa nafsunya juga telah mengalahkan dirinya akhirnya orang sholeh itu terjerumus ke dalam kesalahan dan berbicara tentang Allah tanpa ilmu.

Na’am, bila kita sudah melihat kenyataan seperti ini, tentu sangatlah harus adanya tanbih (peringatan, red) dan sangatlah harus adanya nasihat, bila kita ketahui bahwasanya mujtamaul muslimin, masyarakat muslimin itu banyak yang terjatuh pada kesalahan bahkan bukan masyarakat muslimin saja tetapi dai’-dainya juga yang dulunya sholeh kemudian menjadi tholeh (sesat, red), yang dulunya sholeh terjerumus ke dalam kesesatan maka ketika ini wajib hukumnya memberikan bayan, keterangan, memberikan nasihat memberikan tanbih kepada ummat dari kesalahan yang dilakukannya agar ummat ini tidak mengikuti kesalahan yang diikutinya, na’am, bila dibiarkan tentu mafsadah (kerusakan, red) yang lebih besar. Kerusakan yang lebih menyebar luas, na’am.

Qola [Syaikh] dan inilah diantara kelebihan kelebihan di ummat ini yang membedakan antara ummat ini dengan ummat lainnya, dan diantara kelebihan itu diantaranya bahwasanya Allah melebihkan Dien ini di atas agama-agama yang lainnya dimana Allah menjanjikan untuk menjaga Agama ini, Allah berfiman: ” Sesungguhnya Kami yang menurunkan ad Dzikra dan Kami pulalah yang menjaganya”, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga Dien ini melalui tangan-tangan ummat ini yang Allah telah memujinya dalam firmanNya : “Kalian adalah sebaik-baik ummat yang dikeluarkan di tengah-tengah manusia dalam rangka memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan kalian beriman pada Allah”

Karena itu ya ikhwan, jadilah para pembela pembela agama Allah, jadilah pembela-pembela Sunnah Rasulullah shalallahu’ alaihi wa sallam. Na’am, kita yakin bahwasanya Allah telah menjaga agama ini dengan penjagaan Allah ini melalui tangan-tangan kita, na’am, melalui kesungguhan kita untuk menjaganya dari perkara-perkara yang baru, dan perkara-perkara yang batil sekalipun.

Na’am, oleh karena itu maka jadilah kalian pembela-pembela sunnah, jadilah kalian pembela Allah dengan membela agamaNya. Lebih baik bagi kita ya ikhwan memiliki musuh seluruh isi dunia daripada kita memiliki musuh Allah di akhirat nanti gara-gara kita tidak mau menjadi pembela agamaNya. Lebih baik kita mempunyai musuh sejuta atau dua juta atau berjuta-juta di dunia ini daripada kita mempunyai musuh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam karena kita tidak mau membela Sunnahnya. Ini ya ikhwan yang perlu kita tegaskan. Na’am, kita nyatakan yang haq itu adalah haq dan yang batil adalah batil.

Qola [syaikh] maka diantara yang termasuk ke dalam amar ma’ruf nahi munkar itu adalah mengkritik kesalahan-kesalahan dan menerangkannya serta menjelakannya ke hadapan manusia dan ini bagian dari amar ma’ruf nahi munkar dan mengokohkan ummat ini di atas Dienullah, dan mengusir atau menghilangkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dan pelanggaran yang dilakukan ahli batil atas agama ini.

Kita cukupkan dulu sampai sini, karena sepertiya sudah sore.

Subhanaka Allahumma wa bihamdika asyhadu alla lailaha ila anta astaghfiruka wa atubu ilaika. Walhamdulillahirobbil ‘alamin.

(Disampaikan oleh Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari di Masjid LIPI, Dago, Bandung, waktu hari Ahad tanggal 12 Oktober 2003 pukul 14.00-16.00. Membahas kita Annaqdu Manhajus Syar’i (Kritikan adalah Manhaj yang Syar’i) karya Syaikh Dr. Rabi’ Bin Hadi AL Madkhali.)

Sumber :  http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=330

Written by أبو هـنـاء ألفردان |dr.Abu Hana

June 12, 2010 at 02:37

7 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Bismillah. Afwan,Mohon izin Copy Vaste, Jazaakallahu khairan katsiran.

    mamujubintang@yaho.co.id

    January 11, 2013 at 15:35

  2. […] TERNYATA ADA GHIBAH YANG TIDAK DILARANG : 6 Ghibah Yang Dibolehkan Ulama Madzhab Syafi’i […]

  3. terimakasih telah memperkuat apa yang telah aku pahami

    muhammad darda

    April 23, 2012 at 23:43

  4. jzkmlh

    Anis Dwi Prakoso

    August 10, 2011 at 14:30

  5. Alhamdulillah, Jazakumullooh khoiron katsiiro!
    Numpang copas ya, Ustadz :-)

    Insan70

    March 24, 2011 at 12:29


Leave a reply to Anis Dwi Prakoso Cancel reply