طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

Bagaimana Puasanya Lansia, Musafir, Ibu Hamil dan Melahirkan?

with one comment


Bagaimana Puasanya Lansia, Musafir, Ibu Hamil dan Melahirkan?

Lansia yang sudah pikun, bagaimana tentang shoumnya

Soal ke-35 :

Seorang perempuan yang sudah lanjut usianya dan sudah berubah akalnya dengan sebagian perubahan-perubahan, kemudian ia meninggal dan ia punya hutang shaum dua kali bulan Ramadhan, sedangkan ia tidak mengetahui Ramadhan dari selainnya disebabkan karena terjadi hilang ingatan/akalnya (atau terjadi perubahan akalnya). Apakah bagi anaknya untuk memberikan makanan untuk menggantikan shaumnya ataukah ia mesti shaum ?

Jawab :

Keadaan dia adalah termasuk orang-orang yang diangkat atau diberikan rukhshah kepadanya. Nabi bersabda : “Diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang gila sehingga ia sadar, dari anak kecil sehingga di baligh dan dari orang yang tertidur sehingga ia bangun kembali.”

Maka tidak ada keharusan apa-apa untuknya.

Shoum bagi musafir yang berniat tinggal dalam waktu lama

Soal ke-39 :

Apa hukumnya shaum bagi orang yang musafir yang dia berniat untuk tinggal dalam waktu yang ditentukan, seperti sebulan misalnya ?

Jawab :

Apabila ia berniat melebihi 20 hari maka hendaklah ia shaum dan tidak dianggap sebagai musafir. Dan

barangsiapa yang mengatakan bahwa ia dianggap sebagai musafir maka telah menyelisihi keumuman manusia dan makna secara bahasa dari makna kata ‘safar’. Sedangkan Nabi , beliau tinggal di Tabuk selama 19 hari dan berkata Ibnu Abbas ,

“Apabila kami menetap setelah itu maka kami menyempurnakan shalat.”

Yang berarti bahwa kami tidak lagi sebagai musafir dan ini adalah pendapat (ijtihadnya) Ibnu Abbas . Akan tetapi ini yang lebih dekat, insya Allah Ta’ala.

Wanita tidak shoum karena hamil dan melahirkan

Soal ke-42 :

Ada seseorang yang bertanya tentang perempuan yang tidak mampu untuk melaksanakan shaum Ramadhan dikarenakan melahirkan atau kehamilan.

Jawab :

Maka hendaknya ia meng-qadha, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’anul Karim,

“Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau bepergian maka hendaknya mengganti pada hari yang

lainnya.”

Maka hendaknya ia mengqadha pada waktu yang ia mampui, baik itu setelah setahun atau dua tahun atau bahkan tiga tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan telah terdapat di dalam Sunan (dalam salah satu kitab sunan pent) dari hadits Anas bin Malik Al- Ka’bi . Ia berkata, “Aku menemui Rasulullah, kemudian Rasulullah berkata, ‘Kemarilah kepada makanan’, kemudian aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang dalam keadaan shaum (yakni dia sedang dalam keadaan musafir).’ Kemudian Nabi berkata,

“Sesungguhnya Allah menggugurkan atas orang yang musafir setengah sholat (atau keringanan) shalat dan menggugurkan bagi yang musafir dan bagi yang hamil dan orang yang menyusui dari shaum (keringanan shaum),” atau yang semakna dengan ini. Dan yang dimaksud dengan meletakkan di sini adalah meletakkan sementara, berdasarkan ayat yang kalian telah mendengarnya yaitu,} “

“ Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau bepergian maka hendaknya mengganti pada hari yang lainnya.”

Sebagian kalangan ahlil ilmi ada yang mengatakan bahwa jika sudah lewat satu tahun sedang ia belum mengqadha Ramadhan yang pertama maka diharuskan baginya untuk membayar kafarah bersamaan dengan qadha. Atau mengatakan bahwa wajib atas seseorang, siapa saja baik itu dalam keadaan sakit atau keadaan musafir, kemudian lewat satu tahun maka wajib baginya untuk membayar kafarah disertai dengan membayar qadha (menggantinya).

Akan tetapi tidak ada dalil di sana baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah ï?², hanya dari sebagian perkataan salafush shalih saja. Dan kita mengambil dengan dhahir ayat bahwasanya Allah Ta’ala tidak mengatakan,

“Barangsiapa di antara kalian yang sakit atau bepergian maka hendaklah ia menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan apabila melewati satu tahun sedang ia belum mengqadha maka sedekahlah diamembayar kafarah.”

“Dan tidaklah Rabb-mu ini memiliki sifat pelupa”.

Maka tidak ada baginya kecuali mengqadha saja jika ia mampu walaupun ia lewat tiga kali Ramadhan atau bahkan lebih. Kemudian setelah itu jika ia mampu untuk mengqadha maka mengqadhalah, wallahul musta’an. Dan mengqadha ini tidak mesti berurut-urutan sehingga tidak memberatkan kepadanya. Jika sekiranya dia shaum tiga hari kemudian berbuka pada satu hari sesuai dengan kekuatan dan kemampuan, maka lakukanlah. Maka Aisyah mengatakan bahwasanya tersisa padanya sesuatu (shaum) Ramadhan, yaitu disebabkan karena haidh kemudian beliau tidak mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Dan yang dimaksudkan oleh Aisyah ï?´ bahwa sesungguhnya qadha ini tidak mesti segera, wallahul musta’an.

Sumber  :

Buku Risalah Ramadhan, Kumpulan 44 Fatwa Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Judul Asli : Bulugh Al Maram min Fatawa Ash-Shiyam As-ilah Ajaba ‘alaiha Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Penerbit Pustaka Ats-TsiQaat Press – Bandung, penerjemah Ibnu Abi Yusuf, Editor Ustadz Abu Hamzah.

Written by أبو هـنـاء ألفردان |dr.Abu Hana

August 21, 2009 at 05:26

One Response

Subscribe to comments with RSS.

  1. Assalamu’alaikum. Akhi, jika si ibu tersebut sdh terlanjur bayar fidyah, dan itu sudah berlalu bbrapa tahun, apakah ibu tsb tetap harus mengqada puasanya? Jazakallah khair atas jawabannya.

    @ Wa’alaikumussalaam Warohmatullaahi Wabarokatuh
    untuk lebih jelasnya bisa ditanyakan kepada para ustadz, klik disini..

    Ahmad Kusnadi

    August 29, 2009 at 21:19


Bagaimana menurut Anda?