طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

INIKAH NAMANYA KEBEBASAN..?? Bebas Berpakaian Seronok, Kumpul Kebo, Transgender, Demonstrasi, dll

with 4 comments


Atas Nama Kebebasan

Penulis Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Masih ingatkah argumen yang dilontarkan para pengikut Al- Qiyadah Al-Islamiyah saat diseret ke penjara oleh polisi? Satu di antara argumen yang mereka lempar kepada masyarakat, bahwa mereka berpehamanan seperti itu sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Prinsip kebebasan yang menjadi dasar HAM telah digunakan sebaik-baiknya oleh kalangan Al- Qiyadah. Terlepas dari dibenarkan atau tidak menggunakan prinsip kebebasan tersebut, namun yang nyata bahwa isu HAM telah menjadi tameng bagi aksi-aksi kesesatan dan penyesatan terhadap umat. Isu HAM telah menjadi senjata yang logis yang memberi ruang kepada kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk berpemahaman, bertindak, beramal, dan beribadah sesuai dengan apa yang diyakininya. Walaupun keyakinan yang mereka usung tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah alias sesat.

Tak semata itu, banyak kasus yang mengatasnamakan kebebasan lantas bisa eksis di tengah masyarakat. Dengan atas nama kebebasan berekspresi dan seni, seorang artis wanita dengan pakaian seronok, mendedahkan aurat, tampil dengan penuh percaya diri di media-media iklan. Tampilannya yang syur, mengumbar syahwat, dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Ketika sekelompok masyarakat menggugat, maka sanggahannya pun bertameng dengan kebebasan berekspresi dan seni. Lagi, isu HAM telah dijadikan wahana untuk menyebarkan hal tak patut. Terlepas dibenarkan atau tidak alasan demi kebebasan berekspresi dan seni.

Lebih dari ini, sepasang muda- mudi atas nama kebebasan, hidup bersama dalam satu flat, didasari suka sama suka, tak ada paksaan dari siapapun, tak ada pula tekanan dari pihak manapun, mereka menikmati hidup tanpa ikatan nikah yang sah, (katanya) tanpa mengganggu siapapun dan pihak manapun. Maka, keduanya lakukan itu atas nama kebebasan, merupakan hak keduanya untuk saling mencurahkan kasih sayang dan melampiaskan hasrat biologisnya, walau dengan cara zina. Lagi, isu HAM menjadi alasan logis bagi terbukanya ruang perzinaan. Sekali lagi, terlepas dari dibenarkan atau tidak alasan mereka dengan mengatasnamakan kebebasan.

Sisi lain, atas dasar kebebasan mengemukakan pendapat secara lisan atau tulisan di muka umum, lantas dengan berarak mengerahkan massa turun ke jalan-jalan. Melakukan orasi yang berisi pembeberan “aib” pejabat atau pemerintah. Jalanan menjadi macet, seakan republik ini cuma mereka yang menghuni. Hajat sekian ratus, ribu bahkan jutaan manusia menjadi terhambat, terganggu, dan bahkan terlanggar. Sekali lagi, semua itu dilakukan atas nama kebebasan.

Ini baru yang ada di jalanan. Belum yang terpampang di media elektronik, spanduk, baliho, selebaran, koran, majalah, buku, dan lainnya. Semua berangkat atas nama kebebasan. Sayang, dan amat sangat disayangkan. Seakan penghuni negeri ini sudah tak lagi memiliki adab, etika, sopan santun, tenggang rasa, akhlak terhadap pemerintah, dan nilai-nilai keluhuran yang semestinya turut serta saat menyampaikan pesan, nasihat, usul yang membangun terhadap pemerintah, kelompok masyarakat tertentu, atau yang bersifat perorangan sekalipun. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al- Baqarah: 83)
Berdasar hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Dan perkataan yang baik itu merupakan sedekah.” (HR. Al- Bukhari no. 2989 ; Muslim no. 56)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan ayat:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ]١٩[

“Sesungguhnya orang-orang yang menginginkan agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nur: 19)

Beliau menyatakan, bahwa “suka menyebarkan perbuatan keji (al- faahisyah) di kalangan orang- orang beriman” meliputi dua makna:

Pertama, menyukai tersebarnya al-faahisyah di tengah-tengah masyarakat muslim. Termasuk dalam hal ini adalah menyebarkan film-film porno dan koran (majalah, selebaran, dan yang sejenis, ed.) yang jelek, jahat, dan porno. Sungguh, media-media semacam ini, tanpa ragu lagi, termasuk yang menyukai (menghendaki) tersebarnya al-faahisyah di tengah-tengah komunitas muslimin. (Orang-orang yang terlibat di dalamnya), mereka menginginkan timbul gejolak fitnah (bencana/kerusakan) agama pada diri seorang muslim. Tentunya dengan sebab dari apa yang disebarkan (oleh mereka) melalui majalah-majalah, surat kabar-surat kabar porno yang merusak atau media-media lainnya yang sejenis. Barang siapa menghendaki (suka) tersebarnya al-faahisyah di tengah komunitas muslim, maka baginya azab yang pedih di dunia dan akhirat.

Kedua, menyukai tersebarnya al- faahisyah pada orang tertentu, bukan dalam lingkup masyarakat Islam secara menyeluruh. Balasan untuk perbuatan ini adalah azab yang pedih di dunia dan akhirat. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1 /59)

Kerusakan demi kerusakan akan senantiasa merambah bumi kala aksi-aksi manusia atas nama kebebasan ditolerir. Peradaban manusia akan terpuruk seiring nilai kebebasan yang lahir dari pemikiran-pemikiran kufur yang menjadi landasan perbuatan manusia. Lihatlah, bagaimana Amerika Serikat dengan mengatasnamakan HAM meluluhlantakkan Afghanistan. Pemerintah AS mengirimkan pasukannya ke Afghanistan untuk menjaga hukum HAM seperti yang dicantumkan dalam pasal 51 Piagam PBB. (Pengadilan HAM, Indonesia dan Peradaban, Artidjo Alkostar hal. 21-22)

HAM dijadikan alat negara kafir untuk melegalkan kezaliman terhadap negara kaum muslimin. Termasuk dalam konteks ini, isu HAM pun dijadikan alat untuk melemahkan instrumen pemerintahan di Indonesia saat proses reformasi berlangsung. Bersamaan dengan itu rakyat dihasung untuk berani melawan pemerintahnya. Tentunya di bawah payung HAM, bahwa rakyat memiliki kebebasan menyuarakan aspirasi sebebas- bebasnya. Yang lebih parah, mereka menjadi kekuatan massa yang dikoordinir dan dimanfaatkan secara politis oleh kelompok tertentu. Tak sedikit yang kemudian melakukan tindakan-tindakan merusak. Anarkisme menjadi model perlawanan terhadap pemerintah yang sah. Ini dampak dibukanya kran demokrasi dan kebebasan.

Padahal dalam menyikapi pemerintah, kaum muslimin telah dibimbing Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang dimaksud ulil amri pada ayat tersebut berdasar apa yang disebutkan ahlul ilmi adalah ulama dan umara’ (pemerintah). Wajib bagi umat Islam untuk menaati pemerintah. Ketaatan terhadap pemerintah di sini dalam hal ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

Tidaklah penyebutannya dalam bentuk:
وَأَطِيْعُوا أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

(Taatilah ulil amri di antara kamu), sebab ketaatan terhadap pemerintah mengikuti (ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya), tidak berdiri sendiri. Atas dasar ini, apabila pemerintah memerintahkan kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidaklah wajib untuk mendengar dan taat.

Hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma menjelaskan hal ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam hal suka atau benci, kecuali bila yang diperintahkan terhadap hal yang maksiat. Bila diperintah terhadap kemaksiatan maka janganlah mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no. 7144 ; Muslim no. 1839. Lafadz di atas merupakan lafadz Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf.” (HR. Muslim no. 1840)
Kaum muslimin diberi tuntunan pula dalam menyikapi pemerintahan yang melakukan kemungkaran. Caranya dengan nasihat yang disampaikan secara tersembunyi, tidak dengan terang-terangan atau dipublikasikan kepada masyarakat. Disebutkan dalam hadits Syuraih bin Ubaid dan selainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَا نِيَّةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى لَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa karena satu perkara, janganlah menerangkannya secara terbuka (di depan publik). Tapi, (lakukanlah) dengan cara mengambil tangannya di tempat tertutup bersamanya. Jika dia menerima (nasihat tersebut), maka itulah (yang diharapkan). Jika tidak, sungguh telah sampai nasihat kepadanya.” (HR. Ahmad, Majma’u Az-Zawa’id no. 9161 . Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah fi Takhriji As-Sunnah no. 1096)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu terkait masalah ini menyatakan bahwa bukan manhaj as-salaf, menyebarkan aib (cacat, cela, kelemahan, kekurangan) pemerintah serta memublikasikannya di mimbar- mimbar (media-media umum). Karena, yang seperti itu akan menambah parah keadaan, memupus (kepercayaan rakyat) untuk mendengar dan taat dalam hal yang ma’ruf. Juga semakin menjerembabkan ke keadaan yang membahayakan dan tiada manfaat. Cara yang ditempuh (diikuti) pada kalangan salaf, yaitu menasihati antara dia dengan penguasa (tidak di depan umum), menyuratinya, atau menyampaikan melalui para ulama yang (para ulama ini) akan menyampaikannya kepada penguasa hingga (tercapai) menuju kepada kebaikan. Mengingkari kemungkaran hendaknya tanpa menyebut nama pelaku. Berantaslah masalahnya dengan menyebut masalahnya. Kemungkaran zina, kemungkaran minuman keras (khamr), kemungkaran riba tanpa menyebut siapa pelakunya. Cukup dengan mengingkari kemaksiatan- kemaksiatan dan memperingatkan (masyarakat) dari hal-hal tersebut. Tanpa menyebut fulan sebagai oknumnya.

Saat terjadi fitnah (anarkisme) di zaman ‘Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, sebagian masyarakat berkata kepada Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu: “Apakah engkau tidak melakukan pengingkaran terhadap ‘Utsman?” Jawab Usamah: “Apakah aku akan melakukan pengingkaran di hadapan orang banyak? Aku akan mengingkarinya (cukup) antara aku dan dia saja. Aku tak ingin membuka pintu kejelekan atas manusia.”

Tatkala mereka telah membuka kejelekan pada masa ‘Utsman radhiallahu ‘anhu, yaitu dengan melakukan pengingkaran terhadap ‘Utsman radhiallahu ‘anhu secara terang-terangan, lengkaplah sudah fitnah (petaka), pembantaian, dan kerusakan-kerusakan yang pengaruhnya terus berlangsung hingga sekarang. Hingga kemudian, memunculkan fitnah antara ‘Ali dan Mu’awiyah radhiallahu ‘anhuma. Terbunuhnya ‘Utsman dan ‘Ali radhiallahu ‘anhuma lantaran sebab hal itu. Juga, banyak dari kalangan sahabat dan selainnya yang terbunuh. Semuanya disebabkan cara melakukan pengingkaran secara terbuka, transparan di depan umum dengan menyebutkan aib-aibnya. Hingga terbakarlah emosi massa (untuk) melawan pemerintahnya. Mereka pun lantas membunuhnya. Nas’alullaha al- ‘afiyah. (Muamalatu Al-Hukkam fi Dhau’i Al-Kitab wa As-Sunnah, Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullahu, hal. 111- 112)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits, (no. 2224) dari Ziyad bin Kusaib Al-‘Adawi yang bertutur: “Kala aku bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang tengah berkhutbah, sedangkan dia mengenakan pakaian tipis. Maka, berbicaralah Abu Bilal (Mirdas bin Udayyah, seorang Khawarij): “Lihatlah kepada pemimpin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq!” Abu Bakrah pun lantas angkat bicara, “Diam kamu. Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang merendahkan (menghina) penguasa Allah di muka bumi, Allah akan merendahkan (menghinakan) dirinya.” (Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ash- Shahihah no. 2296)

Demikian akhlak yang dibangun dalam Islam. Selalu dan selalu memerhatikan kemaslahatan masyarakat banyak. Tak semata memfokuskan pada hak asasi orang per orang, sementara kepentingan (hak orang lain) terabaikan. Melalui proses penyampaian aspirasi yang diajarkan Islam, maka kepentingan umum tidak terganggu (terlanggar) dan hak individu atau kelompok pun tidak terabaikan. Karena masing- masing individu masih bisa tetap menyampaikan aspirasi tanpa harus mengganggu yang lain serta menimbulkan mudarat bagi masyarakat.

Bagaimana dengan sistem yang dibangun di atas kebebasan? Ya, karena mereka memiliki hak asasi, hak untuk secara bebas meneriakkan aspirasinya, maka tak terpikirkan lagi dampak dari aksi-aksinya. Tak peduli lagi apakah setelah mengkritik pemerintah lantas masyarakat terprovokasi atau tidak. Tak peduli lagi, apakah setelah dia bicara suhu politik jadi memanas, ekonomi bergeser menurun, yang semua itu dampaknya kepada masyarakat secara keseluruhan. Atau menjadikan citra negeri muslim menjadi buruk di mata internasional. Semua tak dipedulikan. Sebab, intinya atas nama kebebasan, hak asasi manusia harus terwujud. Maka bergulirlah Deklarasi Universal HAM PBB tahun 1948 sebagai tameng dan alat perjuangan.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ]٥٠[
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al- Ma’idah: 50)

Mari, dengan hati yang jernih, kita pahami Islam ini dengan benar dan baik. Kembalikan setiap masalah yang ada kepada agama. Bukan dengan membanggakan nilai-nilai di luar Islam sebagai wujud rasa inferiotas (minder) di hadapan peradaban Barat. Mari, kita tunjukkan sebagai muslim yang baik. Yang menapaki jejak generasi salafush shalih. Wallahu a’lam.

SUMBER :  Majalah Asy Syariah Halaman 18- 21 Vol. IV/No. 42 /1429 H/2008

* * *

4 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. […] aktivitas ‘turun ke jalan’ mereka diberangus, maka istilah yang mengemuka adalah demokrasi telah dikhianati. Namun Islam […]

  2. […] Comments are closed. Tokoh Di Balik Radikalisme dan Terorisme […]

  3. […] dengan mengatasnamakan kebebasan! Setelah ana baca-baca blognya al-Akh Dr. Abu Hana [ INIKAH NAMANYA KEBEBASAN..?? Bebas Berpakaian Seronok, Kumpul Kebo, Transgender, Demonstrasi, dll ], sepintas kayaknya ga nyambung judul artikel dengan isi postingannya yang ditulis oleh al-Ustadz […]

  4. yang melakukan demo org terpelajar tp aksi demonya kurang ajar bikin kerusakan, di mana akhlaqul karimahnya?

    yosi

    March 26, 2010 at 20:33


Bagaimana menurut Anda?