طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

Circumsisi, Phimosis dan Khitan Perempuan

with 8 comments


Circumsisi, Phimosis dan Khitan Perempuan

(ditulis oleh dokter umum, ditujukan untuk masyarakat umum, disusun dari pengalaman dan bacaan, sambil menunggu koreksi dari sejawat dokter bedah).

circumsisi3

Sering muncul pertanyaan tentang khitan/sunat/sirkumsisi (circumsisi) di milis kesehatan. Banyak kebingungan ketika ada keinginan/keharusan menjalani sirkumsisi pada usia dini.
Sirkumsisi memiliki riwayat panjang, bahkan sebelum masehi sudah ditemukan catatan prakteknya di Mesir. Praktek ini berlangsung terus sampai sekarang, namun menjadi topik kontroversi hangat sejak sekitar 20-an tahun lalu. Apakah benar sirkumsisi bermanfaat atau justru tidak ada gunanya?

Sirkumsisi adalah tindakan medis berupa pembuangan sebagian atau seluruh bagian dari preputium (prepuceforeskin, kulup, kulit yang melingkupi glans penis/kepala penis). Ada 3 alasan utama orang menjalani sirkumsisi :

1. Karena indikasi medis
2. Tindakan pencegahan untuk masa depan
3. Alasan agama/keyakinan

Indikasi medis yang paling sering ditemui adalah kondisi phimosis. Preputium sebenarnya terdiri dari dua lapis: bagian dalam dan bagian luar. Dengan dua lapis ini, maka preputium bisa ditarik ke depan dan belakang pada batang penis.

Pada penis anak yang mengalami phimosis, preputium tidak bisa ditarik ke belakang untuk membuka seluruh bagian kepala penis. Lapis bagian dalam preputium melekat pada glans penis, sehingga ketika preputium ditarik, glans penis tidak bisa terbuka seluruhnya. Kadang perlekatan itu begitu lebar sehingga hanya bagian lubang kencing (meatus urethra externus) yang terbuka. Selama tidak terjadi hambatan berkemih atau tanda-tanda peradangan, masih bisa diobservasi. Harapannya, secara perlahan perlekatan akan menghilang sesuai usia.

Perlu diketahui, saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara perlahan terjadi desquamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai usia 1 tahun, masih 50% yang belum bisa ditarik penuh. Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10% pada usia 4-5 tahun, 5% pada usia 10 tahun, dan masih ada 1% yang bertahan hingga 16-17 tahun. Dari kelompok terakhir ini, ada sebagian kecil yang bertahan secara persisten sampai dewasa bila tidak ditangani.

Phimosis bisa terjadi secara bawaan sejak lahir, bisa juga terjadi kemudian. Penyebab yang sering adalah infeksi pada daerah glans penis dan preputium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut. Selanjutnya preputium melekat ke glans penis pada jaringan parut tersebut.

Kondisi yang berlawanan adalah paraphimosis. Pada kondisi ini, preputium dapat ditarik ke belakang, glans penis terbuka seluruhnya, tetapi justru preputium tidak bisa kembali ke depan dan menjepit penis. Kondisi ini berbahaya karena risiko pembendungan aliran darah dan menyebabkan edema penis. Jepitan sebaiknya segera dibebaskan agar tidak terjadi kerusakan yang bersifat permanen.

Pada lapisan dalam preputium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi smegma. Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan preputium. Letak kelenjar ini di dekat pertemuan preputium dan glans penis yang membentuk semacam “lembah” di bawah korona glans penis (bagian kepala penis yang berdiameter paling lebar). Ke dalam lembah ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel mati dan bakteri. Bila tidak terjadi phimosis, kotoran ini mudah dibersihkan.

Pada kondisi phimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan karena preputium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah perlekatan preputium dengan gland penis, debris dan sel mati terkumpul di lembah dan tidak bisa dibersihkan.

Bisa juga terjadi lubang di ujung preputium sempit sehingga tidak bisa ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang hanya tersisa lubang kecil di ujung preputium. Pada kondisi ini, akan terjadi fenomena “balloning” yaitu preputium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran urine tidak diimbangi besarnya lubang di ujung preputium.

Kadang terjadi peradangan pada preputium sampai tidak bisa berkemih. Dokter bisa melakukan tindakan dilatasi (melebarkan lubang preputium) agar proses berkemih lancar. Setelah peradangan mereda, rasa nyeri berkemih membaik, lebih baik dilakukan sirkumsisi agar peradangan dan kesulitan berkemih tidak terulang lagi.

Bila phimosis menghambat kelancaran berkemih – seperti pada balloning – maka sisa-sisa urin mudah terjebak pada bagian dalam preputium dan lembah tersebut. Kandungan glukosa pada urine menjadi ladang subur bagi pertumbuhan bakteri. Karena itu, komplikasi yang paling sering dialami akibat phimosis adalah infeksi saluran kemih (UTI).

UTI paling sering menjadi indikasi sirkumsisi pada kasus phimosis. Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini terjadi peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi pembengkakan kemerahan dan produksi pus pada “lembah” antara glans penis dan preputium. Meski jarang, infeksi ini bisa terjadi pada diabetes.

Kadang tepi preputium menjadi putih, terbentuk jaringan parut, tidak elastis dan tidak mau membuka saat ditarik ke belakang. Sekitar 1-1.5% anak laki-laki sampai pada usia 17 tahun bisa menderitanya. Gejala yang timbul: iritasi atau perdarahan di tepi preputium, rasa nyeri saat berkemih (disuria) dan tidak bisa berkemih (retensi urine). Kondisi ini disebut balanitis xerotica olbiterans. Sirkumsisi dianjurkan pada kondisi ini.

Berkaitan dengan pencegahan masa depan, ada beberapa penyakit yang diduga berkurang risikonya dengan menjalani sirkumsisi. Yang sering disebut adalah kanker penis, penyakit menular seksual dan kanker serviks (pada pasangan seksualnya). Tentu saja, banyak faktor terkait dalam hal terjadinya keganasan atau PMS, sehingga terjadi kontroversi pendapat (di luar lingkup tulisan ini).

Benarkah sirkumsisi mempengaruhi kejadian UTI? Tahun 1980-an dilaporkan bahwa anak yang tidak disirkumsisi memiliki risiko menderita UTI 10-20 kali lebih tinggi. Tahun 1993, ditulis review bahwa risiko terjadi sebesar 12 kali lipat. Tahun 1999, dalam salah satu bagian dari pernyataan AAP tentang sirkumsisi, disebutkan bahwa dari 1000 anak pada usia 1 tahun, 7-14 anak yang tidak disirkumsisi menderita UTI sedang hanya 1-2 anak pada kelompok yang disirkumsisi. Dua laporan jurnal tahun 2001 dan 2005 mendukung bahwa sirkumsisi menurunkan risiko UTI.

Apa yang harus dipersiapkan sebelum menjalani sirkumsisi? Sebelum menentukan tindakan operasi, perlu pemeriksaan awal. Di luar soal kesiapan secara fisik, dipastikan pula adakah kelainan anatomis penis, bagaimana kondisi preputium (adakah phimosis, seberapa perlekatan preputium dengan glans penis, adakah peradangan). Pada tahap ini, dokter akan bisa membuat penilaian, apakah akan dihadapi penyulit. Bisa terjadi, bila penyulit cukup berat, terpaksa menggunakan anesthesi umum agar bisa optimal.

Bapak-bapak model “dulu” biasa menunggu sampai preputium anaknya benar-benar sudah bisa ditarik ke belakang dan glans penis terlihat utuh, sebelum memutuskan hendak sirkumsisi. Mereka sering mengajarkan kepada anaknya untuk selalu mencoba menarik preputium saat mandi, sekaligus membersihkan kotoran yang mengendap di balik preputium. Seperti disebut sebelumnya, memang secara alamiah pun, perlekatan itu akan menghilang sesuai pertambahan usia. Baru setelah ditunggu-tunggu ternyata memang tidak tercapai, mereka konsultasi ke dokter.

Kadang, adanya perlekatan – terutama bila tinggal sedikit – bisa dilepaskan sekaligus sebelum dilakukan sirkumsisi. Bila perlekatan ternyata cukup lebar, atau relatif sulit dilepaskan, kadang dokter terpaksa melakukannya dua tahap: dilepaskan dulu perlekatannya, diberi jeda agar “peradangan ringan”nya membaik, baru tahap kedua dilakukan sirkumsisi. Memang ini menambah trauma pada anak karena terpaksa 2 kali menjalani “tindakan” oleh dokter. Karena itu sebisa mungkin pelepasan perlekatan dan sirkumsisi dilakukan satu tahap.

Apakah sirkumsisi harus dengan general anesthesi (anesthesi umum)? Pada prinsipnya, sirkumsisi adalah tindakan minor surgery dengan anesthesi lokal, termasuk pada neonatal (Cochrane Database 2004). Ada dua model anesthesi lokal yang sering digunakan. Pertama dengan suntikan baik pada pangkal penis (DPNB) maupun preputium (ring-block). Kedua, menggunakan anesthesia topikal, biasanya berupa spray. Dalam literatur, metode suntikan lebih efektif, tetapi dalam praktek tergantung pada teknik sirkumsisi yang dipakai dan keterampilan dokternya. Rata-rata waktu yang diperlukan hanya sekitar 10-15 menit, selama tidak ada penyulit.

Meski bersifat minor surgery, di lapangan sering ditemui kendala karena pasien tidak kooperatif. Bisa juga orang tua pasien yang merasa tidak tega. Padahal diperlukan kerjasama antara orang tua atau keluarga dengan dokter agar sirkumsisi berlangsung optimal. Ada kalanya terpaksa dilakukan dengan anesthesi umum agar kerja dokter lebih optimal.

Bila harus menggunakan anesthesi umum, tentu perlu persiapan seperti operasi lain yang menggunakan anesthesi umum. Misalnya harus puasa 4-6 jam sebelumnya untuk menghindari aspirasi isi lambung saat dalam kondisi teranesthesi. (Aspirasi: masuknya isi dari lambung ke saluran nafas).

Namun teknik anesthesinya tidak seperti kita lihat di film seperti serial ER misalnya. Tekniknya lebih sederhana, dan efeknya singkat sesuai kebutuhan. Juga tidak sampai dilakukan pemasangan intubasi (selang khusus ke tenggorokan). Prinsipnya anak bisa tidur tenang, rasa sakit dihilangkan, proses sirkumsisi berjalan lancar, dan segera setelah selesai, anak sadar. Biasanya segera setelah sadar, anak merasa haus. Pastikan ke dokter bahwa peristaltis saluran cerna sudah pulih sehingga anak sudah bisa minum.

Berbagai laporan menyebut angka komplikasi akibat tindakan sirkumsisi sebesar 0,2 – 0,6%. Hampir semua komplikasi bersifat ringan. Yang paling sering terjadi adalah perdarahan, kemungkinannya sekitar 0,1%, dan hampir semuanya bisa diatasi dengan tindakan lokal.

Yang perlu perhatian, sampaikan sebelumnya bila ada tanda-tanda anak mengalami gangguan pembekuan darah. Misalnya perdarahan bila terluka tidak cepat berhenti, sering mimisan (epistaksis), bila sikat gigi mudah berdarah, bila bagian badan terbentur mudah terjadi lebam yang tidak cepat hilang atau sering timbul bintik-bintik perdarahan di bawah kulit. Dokter akan memberi perhatian tersendiri bila ada riwayat demikian.

Karena bersifat minor, dengan prosedur yang steril luka paska operasi biasanya sembuh dengan cepat dan baik. Bila tanpa indikasi khusus, tidak diperlukan antibiotika, hanya analgetik sesuai kebutuhan bila timbul nyeri saja. Luka lebih baik segera dibiarkan terbuka, asal terjaga kebersihan dan gesekan dengan celana/kain popok (gunakan yang longgar). Rembesan urine yang biasanya menimbulkan nyeri dan risiko kontaminasi. Karena itu segera bersihkan dengan air hangat atau cairan antiseptik setiap kali selesai berkemih.

Memang kondisi lokal bisa berbeda, seperti laporan tahun 1999 diPunjab India, antibiotika topikal (salep) efektif mencegah terjadinya infeksi pada luka paska sirkumsisi terutama terhadap risiko tetanus. Namun hal seperti ini perlu penilaian kasus per kasus, tidak diberlakukan secara umum.

Beberapa hal yang diperhatikan paska sirkumsisi:


1. Perdarahan seharusnya segera berhenti. Bila perdarahan masih terus berlangsung, pastikan ke dokter bahwa hanya proses alamiah dari pembekuan (pembentukan trombin-net) darah. Kadang keluar cairan tapi relatif bening, bukan lagi merah.
2. Bila terjadi pembengkakan berlebihan. Kadang terbentuk cairan jaringan di bekas luka, namun secara alamiah ini akan diserap tubuh. Bila terjadi bendungan cairan besar, konsultasikan ke dokter.
3. Bila anak mengeluh nyeri sangat yang tidak bisa diatasi dengan pemberian analgetik, konsultasikan ke dokter. Mungkin terjadi masih ada pembuluh darah yang belum terligasi dengan sempurna, sehingga terjadi perdarahan di dalam dan menimbulkan nyeri.

Tentu saja risiko perdarahan maupun pembengkakan terkait erat dengan teknik sirkumsisi yang benar. Dengan teknik sirkumsisi dan perawatan luka yang benar, risiko tersebut minimal. Biasanya dokter memberi anjuran kontrol 24-48 jam setelah sirkumsisi untuk mengecek kemungkinan-kemungkinan tersebut. Setelah itu biasanya tidak diperlukan kontrol lagi, sampai lukanya sembuh sekitar 1 minggu kemudian.

Teknik dasar sirkumsisi menggunakan alat bedah konvensional. Pada perkembangannya digunakan cauter (pisau listrik) maupun laser. Penggunaan alat ini lebih meminimalkan perdarahan dan mempermudah proses sirkumsisi. Ada juga perkembangan teknik tidak menggunakan jahitan tetapi semacam lem jaringan (glue). Ada juga yang menggunakan alat dari plastik.

Namun perkembangan tersebut juga menuntut tingkat keterampilan tersendiri dari dokter yang melakukannya. Karena itu sering terjadi salah sebut, cauterisasi dianggap sebagai laser. Baru sedikit yang benar-benar menggunakan laser di Indonesia, seperti beberapa laser-center di kota-kota besar. Ada pendidikan khusus mengenai penggunaan laser ini, karena penggunaan yang tidak tepat juga berisiko kematian jaringan.

Umur saat menjalani sirkumsisi, sebenarnya tidak ada aturan pasti. Sekarang bahkan banyak dilakukan sirkumsisi pada neonatal usia 1-2 hari. Alasannya, lebih dini lebih baik untuk mencegah UTI pada usia dini. Sekaligus, pada usia tersebut pasien juga lebih kooperatif.

Dulu ada anggapan bahwa bayi baru lahir belum bisa “merasakan” nyeri. Tetapi ini jelas tidak benar. Memang mereka belum bisa menyatakan “rasa” nyeri itu. Untuk mengukur tingkat “nyeri” pada kelompok pasien ini, beberapa penelitian menggunakan parameter tangis, menahan nafas, nampak kebiruan pada sekitar bibir, gelisah atau muntah. Selain penggunaan anesthesi lokal, ada yang memberikan sukrosa dalam pacifier (kempong) untuk mengurangi nyeri pada bayi yang menjalani sirkumsisi.

Ada kritik bahwa sirkumsisi menurunkan kepuasan seksual karena pada preputium yang dipotong tersebut terdapat syaraf-syaraf yang sangat peka. Tetapi laporan Jurnal of Urology April 2005 melaporkan tidak ada perbedaan kepekaan neurologis antara penis yang disirkumsisi dan tanpa sirkumsisi.

Bila terjadi kontroversi seputar sirkumsisi, nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada perempuan. Pada beberapa komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang diserupakan dengan sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan “kembaran” penis, maka kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti membuang preputium. Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu sendiri.

Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan menjalani khitan.

Ada kritik bahwa tindakan sirkumsisi berarti orang tua telah mengambil hak anaknya dalam memutuskan tindakan terhadap tubuhnya. Namun dalam hal ini, pertimbangan keagamaan dan budaya diakui dalam mengambil keputusan. Karena itu, tugas petugas medis adalah memberikan informasi apa adanya, agar orang tua dapat memutuskan sendiri pilihan bagi anaknya. Namun dalam hal khitan pada perempuan, dokter harus menjelaskan bahwa literatur medis tidak mengenalnya.

Berikut beberapa pendapat saya.

Bila bukan karena indikasi medis, usia yang “nyaman” untuk tindakan sirkumsisi adalah sekitar usia 5 tahun. Mengapa? Tindakan sirkumsisi mencakup banyak unsur: kesehatan, keyakinan (agama) maupun psikologi perkembangan (berkait dengan gender misalnya). Secara kesehatan, adanya phimosis secara alamiah akan membaik sesuai umur (tinggal 10% pada usia 5 tahun). Juga kesadaran akan higiene pribadi sudah mulai bisa diajarkan secara mandiri pada usia tersebut. Kebiasaan membersihkan penis saat mandi, adalah kebiasaan positif yang bisa dan seharusnya diajarkan agar menjadi kebiasan mandiri. Bahkan setelah sirkumsisi pun kebiasaan ini harus tetap diteruskan.

Secara agama, usia tersebut menjelang mulai perlu dipenuhinya kewajiban-kewajiban rukun agama. Tanggung jawab pribadi terhadap pengamalan agama, mulai ditanamkan. Secara psikologis, usia tersebut juga mulai mengenal jati diri atas dasar perbedaan gender. Tetapi sekaligus pula mulai ditanamkan kesadaran dan penghargaan atas gender. Secara perkembangan, usia 5 tahun adalah saat-saat menjelang masuk sekolah SD.

Tentang khitan pada anak perempuan, selama di klinik Ibu Anak saya sering menerima pasien dengan kasus ini. Yang saya lakukan adalah menjelaskan kepada orang tuanya agar tidak salah pengertian bahwa khitan perempuan tidak seperti sirkumsisi pada laki-laki. Juga tidak dikenal dalam literatur medis. Setelah mereka paham, silakan bila memang tetap ingin melakukan atas dasar keyakinan.

Yang saya lakukan kemudian hanyalah melakukan pembersihan di daerah sekitar labia mayora dan minora vagina, yang sering terdapat kotoran. Dengan cairan antiseptik secukupnya saja, setelah pembersihan orang tua sudah puas. Apalagi bila memang kebetulan kotorannya banyak, bahkan ada yang sudah mengeras seperti butiran hitam. Saya melakukan kompromi demi tujuan lebih baik, agar tidak ada beban moral pada mereka, tetapi juga tidak ada risiko bagi bayinya.

Semoga bermanfaat.

SUMBER :

http://tonangardyanto.blogspot.com/2006/04/circumsisi-phimosis-dan-khitan.html

Written by أبو هـنـاء ألفردان |dr.Abu Hana

July 20, 2009 at 06:10

8 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. assalamualaikum wr wb
    dok saya mau tanya,apa benar kabar yg tersiar selama ini bahwa sunat menggunakan electrik cauter bisa menyebabkan impotensi waktu sdh dewasa ?.Terima kasih.

    rangga

    June 2, 2012 at 00:33

  2. assalamualaikum wr wb
    dok saya mau tanya,apa benar kabar yg tersiar selama ini bahwa sunat menggunakan electrik cauter bisa menyebabkan impotensi waktu sdh dewasa ?.Terima kasih

    rangga

    June 2, 2012 at 00:29

  3. afwan, bisa dijelaskan cara dan bagian yg dipotong pada khitan wanita? jazakumullahu khoiron

    hindun

    May 20, 2011 at 07:02

  4. As-salaamu’alaikum warohmatullooh wabarokaatuh!

    Bapak dokter yang baik, alhmamdulillah, akhirnya saya berhasil menyempatkan diri mencari2 blog/site dokter muslim yang juga nasionalis seperti bapak.

    Terkait khitan/sunat pada perempuan, alhamdulillah, saya sudah menemukan dan meyakini kebenaran dalil2 sekitar masalah tersebut.

    Pertanyaan saya satu:
    1. Benarkah adanya Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan Nomor HK.00.07.1.3.1047a; 20 April 2006?

    2. Maaf, saya menilai bapak adalah type muslim yang baik yang selain bertaqwa kepada Alloh swt, bapak juga patuh kepada ‘umaro’, dan aplikasi kepatuhan terdekat bapak kepada pemerintah tentu melalui profesi bapak sebagai dokter.
    Terlepas dari benar atau tidaknya surat edaran diatas, bagaimana sikap bapak dokter terhadap isi surat tersebut?

    Demikian pertanyaan saya. Mohon maaf, insya Alloh tidak ada sama sekali niat dihati saya selain dari ingin mendapat penjelasan dari “ahlinya”.

    Terima kasih.
    Billaahit-taufiq wal-hidaayah;
    Was-salaamu’alaikum warohmatullooh wabarokaatuh!

    @ wa’alaikumussalaam warohmatullaahi wabarokaatuh.

    1. ketaatan kita kepada pemerintah/penguasa adalah dalam perkara yang bukan perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala yakni perkara2 yang menyelisihi syari’at. Sebagaimana dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
    لاَ طاَعَة لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ خَالِقٍ
    Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam bermaksiat kepada Khaliq [Shahih, HR Ahmad, at Thabrani, al Hakim dan yang lain dengan lafadz at Tabrani disahihkan oleh syekh al Albani dalam Silsilah ash Shahihah:179]
    لا طاَعَة فِي المَعْصِيَةِ َ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي اْلمَعْرُوْفِ
    Tidak ada ketaatan pada maksiat, ketaatan itu hanya dalam kebaikan [Shahih, HR Bukhari dan Muslim]

    فَإِنْ أَمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
    Maka jika diperintahkan dengan perbuatan maksiat maka tidak dipatuhi dan tidak ditaati [Shahih, HR Muslim]

    2. Namun demikian, walaupun kita tidak setuju dengan peraturan mereka namun kita diharamkan untuk memberontak/mengumbar aib mereka di muka umum (berdemonstrasi) sebagai wujud pengamalan hadits yang diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ، يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ، وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
    “Sebaik-baik penguasa kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan (kebaikan, pent.) mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan sejelek-jelek penguasa kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, serta kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Dikatakan:”Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau bersabda: “Jangan selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari penguasa kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, bencilah perbuatannya namun jangan mencabut tangan kalian dari ketaatan.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya juz 3 hal. 1481 cet. Daru Ihya`ut Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. 1, dari jalan Yazid bin Yazid, dari Zuraiq bin Hayyan, dari Muslim bin Qaradhah, dari ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)

    Insan70

    March 19, 2011 at 21:16

  5. Bismillah,
    Assalamu Alalykum warahmatullah wabarakatuh,
    dokter ana mau tanya, jika anak perempuan di khitan usia minim nya berapa? apa perlu ke dokter bedah atau dr. umum juga boleh?

    Jazakallah khairan

    @ Wa’alaikumussalaam Warohmatullaahi Wabarokaatuh.
    Umur berapapun bisa dilakukan, hanya saja perlu ditangani oleh ahli yang berpengalaman.
    Tidak semua dokter umum maupun dokter spesialis mampu melakukannya. Selain itu regulasi pemerintah RI sekarang masih melarang khitan perempuan.

    Bagi saya, khitan adalah syiar dan kewajiban agama, sehingga tidak bisa dilarang..

    Umm_humairah

    June 3, 2010 at 13:23

  6. Here’s an excellent article on Female Circumcision in Islam

    There exist many ahadith or sayings of the Prophet (Peace Be Upon Him) to show the important place, circumcision, whether of males or females, occupies in Islam.

    Among these traditions is the one where the Prophet is reported to have
    declared circumcision (khitan) to be sunnat for men and ennobling for
    women (Baihaqi). He is also known to have declared that the bath
    (following sexual intercourse without which no prayer is valid) becomes
    obligatory when both the circumcised parts meet (Tirmidhi). The fact that
    the Prophet defined sexual intercourse as the meeting of the male and
    female circumcised parts (khitanul khitan or khitanain) when stressing on the need for
    the obligatory post-coital bath could be taken as pre-supposing or
    indicative of the obligatory nature of circumcision in the case of both
    males and females.

    Stronger still is his statement classing circumcision (khitan) as one of the
    acts characteristic of the fitra or God-given nature (Or in other words,
    Divinely-inspired natural inclinations of humans) such as the shaving of
    pubic hair, removing the hair of the armpits and the paring of nails
    (Bukhari) which again shows its strongly emphasized if not obligatory
    character in the case of both males and females. Muslim scholars are of
    the view that acts constituting fitra which the Prophet expected Muslims
    to follow are to be included in the category of wajib or obligatory.

    That the early Muslims regarded female circumcision as obligatory even
    for those Muslims who embraced Islam later in life is suggested by a
    tradition occurring in the Adab al Mufrad of Bukhari where Umm Al
    Muhajir is reported to have said: “I was captured with some girls from
    Byzantium. (Caliph) Uthman offered us Islam, but only myself and one
    other girl accepted Islam. Uthman said: ‘Go and circumcise them and
    purify them.’” More recently, we had Sheikh Jadul Haqq, the
    distinguished head of Al Azhar declaring both male and female
    circumcision to be obligatory religious duties (Khitan Al Banat in Fatawa
    Al-Islamiyyah. 1983). The fatwa by his successor Tantawi who opposed
    the practice cannot be taken seriously as we all know that he has
    pronounced a number of unislamic fatwas such as declaring bank interest
    halal and questioning the obligation of women wearing headscarves.

    At the same time, however, what is required in Islam, is the removal of
    only the prepuce of the clitoris, and not the clitoris itself as is widely
    believed. The Prophet is reported to have told Umm Atiyyah, a lady who
    circumcised girls in Medina: “When you circumcise, cut plainly and do
    not cut severely, for it is beauty for the face and desirable for the
    husband” (idha khafadti fa ashimmi wa la tanhaki fa innahu ashraq li’l
    wajh wa ahza ind al zawj) (Abu Dawud, Al Awsat of Tabarani and Tarikh
    Baghdad of Al Baghdadi).

    This hadith clearly explains the procedure to be followed in the
    circumcision of girls. The words: “Cut plainly and do not cut severely”
    (ashimmi wa la tanhaki) is to be understood in the sense of removing the
    skin covering the clitoris, and not the clitoris. The expression “It is beauty
    (more properly brightness or radiance) for the face” (ashraq li’l wajh) is
    further proof of this as it simply means the joyous countenance of a
    woman, arising out of her being sexually satisfied by her husband. The
    idea here is that it is only with the removal of the clitoral prepuce that
    real sexual satisfaction could be realized. The procedure enhances sexual
    feeling in women during the sex act since a circumcised clitoris is much
    more likely to be stimulated as a result of direct oral, penile or tactile
    contact than the uncircumcised organ whose prepuce serves as an
    obstacle to direct stimulation.

    A number of religious works by the classical scholars such as Fath Al
    Bari by Ibn Hajar Asqalani and Sharhul Muhadhdhab of Imam Nawawi
    have stressed on the necessity of removing only the prepuce of the
    clitoris and not any part of the organ itself. It is recorded in the Majmu Al
    Fatawa that when Ibn Taymiyyah was asked whether the woman is
    circumcised, he replied: “Yes we circumcise. Her circumcision is to cut
    the uppermost skin (jilda) like the cock’s comb.” More recently Sheikh
    Jadul Haqq declared that the circumcision of females consists of the
    removal of the clitoral prepuce (Khitan Al Banat in Fatawa Al Islamiyya.
    1983).

    Besides being a religious duty, the procedure is believed to facilitate good
    hygiene since the removal of the prepuce of the clitoris serves to prevent
    the accumulation of smegma, a foul-smelling, germ-containing cheese-
    like substance that collects underneath the prepuces of uncircumcised
    women (See Al Hidaayah. August 1997). A recent study by Sitt Al Banat
    Khalid ‘Khitan Al-Banat Ru’ yah Sihhiyyah’ (2003) has shown that
    female circumcision, like male circumcision, offers considerable health
    benefits, such as prevention of urinary tract infections and other diseases
    such as cystitis affecting the female reproductive organs.

    For more benefits of Islamic female circumcision also known as hoodectomy see http://www.hoodectomyinformation.com

    @ Ahmed, Jazaakallaahu khairan for your comment and also your link. It’s verry important for us..
    Baarokallaahu fiikum..

    Ahmed

    March 12, 2010 at 20:18

  7. Anak pertama kami dikhitan pada usia 18 bulan, begitu pula anak kedua kami (16 bulan) direncanakan pada sabtu, 12 Desember 2009 akan dikhitan. keduanya karena indikasi phimosis. Namun ada kendala saat ini anak kami tersebut sedang batuk, pertanyaannya amankah untuk dilakukan khitan? karena sepengetahuan kami berdasarkan pengalaman anak pertama, bahwa anastesi circumcici untuk anak 16 bulan secara total dan melalui oral. mohon sarannya. jazakillah.

    @ Maaf sekali Bu, jawabannya telat. saya baro Online lagi..
    Batuk bukan alasan pokok untuk menunda khitan, namun untuk kenyamanan sebaiknya diberi obat pereda batuk terlebih dahulu.
    Anestesi untuk khitan umumnya dilakukan secara lokal (bius lokal), sehingga tidak menjadi masalah kalau anaknya sedang batuk.

    Wiraningrum Hapsari

    December 9, 2009 at 12:50

  8. tulisan yang sangat bagus, kritis dan membangun…. trim’s

    @ Jazaakallaahu khairan atas kunjungannya..

    Peduli Pendidikan

    July 20, 2009 at 18:22


Bagaimana menurut Anda?