طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

Malpraktik Kedokteran

with 2 comments


Malpraktik Kedokteran

Medical-Malpractice

Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya dari waktu ke waktu semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus” dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.

Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.”

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasanceMalfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasanceadalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkanerror tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1).

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Penanganan Malpraktik

Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari sisi hukum.

Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang “layak” dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak.  Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based.  Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll). Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai bahan pembelaan.

Langkah-Langah Penanganan Kasus

Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko. Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan.

Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum, maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah “kesalahan” yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi “jalannya ceritera” – tanpa melakukan manipulasi fakta.

Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang terbatas mungkin sukar membahas kasus yang “spesialistik” dengan baik, maka harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan, informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar, penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok dengan situasi-kondisi kasus.

Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis (perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan dengan kasus.

Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai “undefensable” sebaiknya diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus “abu-abu” atau “kasus ringan” yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih “menguntungkan” dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi.

Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil dari Komite Medis.

Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi dengan atasan dan penasehat hukum terkait. Tenaga medis dan staf lain yang terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit yang berlanjut ke pembicaraan tentang “kompensasi” finansial di luar pengadilan. Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun, sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan.

Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa – dilihat dari sisi mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran.

Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian, penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan pembelajaran kepada penyidik di bidang medis dan medikolegal. Di wilayah hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk mengajukan satu atau dua orang saksi ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran).

Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam “dewan pakar” atau “dewan kehormatan pembina”, yang akan menilai kasus dari sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli – menyampaikan hasil pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.

Kesimpulan

Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu.

Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien.

*) Yang kami cantumkan pada postingan ini hanyalah sebagian kecil dari tulisan Beliau, untuk mempelajari lebih lengkap silahkan mengklik link di bawah.

Penulis : Budi Sampurna, Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia

SUMBER :

http://www.freewebs.com/malprate/malpraktikkedokteran.htm

http://www.freewebs.com/malprate/penangananmalpraktik.htm

Written by أبو هـنـاء ألفردان |dr.Abu Hana

July 24, 2009 at 05:33

2 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Maraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kedokteran di Indonesia lagi. Hal ini terbukti dengan semakin tingginya pilihan untuk berobat keluar negeri (biasanya Penang Malaysia dan Singapore). saya berpikir ini mungkin pilihan orang-orang yang ekonominya diatas rata-rata, tapi saya salah. Saat salah satu keluarga saya ada yang menderita penyakit yang membutuhkan operasi, mereka pergi ke Penang (setelah saya check, ticket hanya 250,000 Rupiah per orang) dengan biaya yang logis.

    hitsumi

    January 2, 2012 at 16:37

  2. artikel yang lumayan lengkap,,,,,,,,

    herlambang pranandaru

    November 23, 2009 at 19:44


Bagaimana menurut Anda?