طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

KUMPULAN ARTIKEL TENTANG HARI KARTINI “EMANSIPASI WANITA” MENURUT ISLAM : Bingkisan untuk “Mereka” yang Merayakan “Hari Kartini Tanggal 21 April” | Kartini Mendukung Poligami | Sejarah Kartini, Pusisi Kartini, Makna Kartini, Perayaan Hari Kartini

with 2 comments


Kartini Mendukung Poligami

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh suku Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. (Wikipedia)

Hingga beberapa hari setelah tanggal 21 April 2009 sejumlah tulisan seputar Kartini masih terus menghiasi kolom-kolom diberbagai media. Ada banyak pelajaran yang diambil dari tulisan-tulisan tersebut. Namun harus jujur diakui sebagian dari tulisan-tulisan tersebut hanya bersifat narasi sejarah biasa dan terkesan belum mampu memberikan persfektif baru dari Kartini. Atas dasar inilah penulis merasa terpanggil untuk turut ambil bagian untuk memberikan persfektif baru dalam melihat Kartini.

Sebenarnya judul di atas dirasa masih kurang tajam dengan pesan yang ingin penulis sampaikan. Tadinya ingin memilih kalimat judul “Kartini Pelaku Poligami”. Tapi rasanya kurang enak didengar. Sehingga penulis menetapkan untuk memilih kata “mendukung” dari pada “pelaku”. Ada ungkapan lain yang terkesan kurang etis dialamatkan kepada Kartini sebagai pahlawan nasional adalah bahwa sebenarnya termasuk perempuan yang malang karena harus menjadi istri kedua. Bahkan yang lebih ironis lagi ada yang justru menganggap bahwa kalaulah Kartini hidup di era sekarang akan bisa dikategorikan sebagai orang mengganggu keharmonisan rumah tangga orang lain.

Harus dipahami bahwa pilihan untuk menjadi istri kedua bagi bukan tanpa dasar pikiran yang kuat. Beliau sudah mencoba mepertimbangkan dengan baik dan sudah berusaha mengenali calon suaminya. “Saya merasa mendapat hak istimewa di atas ribuan orang untuk mengarungi hidup di samping seorang pria yang demikian luhur” demikian tutur Kartini dalam salah satu tulisannya. Bahkan Kartini menggambarkan calon suaminya bak “permata” yang teramat berharga baginya. Oleh karenaya perlu dipahami bahwa keputasan Kartini untuk siap menjadi istri kedua untuk menghadirkan kemaslahatan yang lebih besar terutama bagi kaum perempuan.

Fakta sejarah ini harusnya menjadi argumentasi historis untuk menyatakan bahwa poligami bukanlah sesuatu hal tabu dan dianggap jelek seperti anggapan yang banyak berkembang belakang ini. Kartini sebagai seorang pahlawan nasional telah memberikan contoh yang baik bagi kita semua betapa poligami akan lebih mulia dari pada melakukan perbuatan mesum secara sumbunyi seperti yang melanda sejumlah kalangan. Realita yang kita lihat adalah kalau ada tokoh yang melakukan poligami yang secara agama dihalalkan terus dicemooh dan menjadi bahan gunjingan diberbagai media. Padahal disisi lain para pejabat, pelaku bisnis, hingga rakyat biasa yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh (mesum misalnya) justru seolah luput dari perhatian dan terkesan biasa saja. Kalau mendapat cemoohan di media belum sebanding dengan yang dialamatkan ke pelaku poligami. Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa tidak dibenarkannya poligami akan menyebabkan perkembangan perbuatan-perbuatan mesum. Tapi yang dimaksudkan penulis adalah penilaian sejumlah kalangan yang tidak proporsional antara pelaku poligami dengan pelaku mesum.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa poligami tak semestinya menjadi bahan cemoohan di tengah masyarakat. Yang terpenting adalah bagi para pelaku poligami harus sudah melalui pertimbangan yang matang dan mempertimbangkan sisi maslahat dan mudhorat. Sepertinya halnya Kartini yang memutuskan untuk siap menjadi istri kedua bukan karena tidak mampu memperoleh lelaki yang masih lajang. Apalagi untuk sekedar merebut suami orang lain yang dapat berbuntut pada pecahnya bahtera rumah tangga orang lain. Tapi karena ingin mewujudkan cita-cita yang teramat luhur. Cita-cita untuk terus mencerdaskan anak bangsa. Karena dengan menjadi istri kedua tersebut bagi Kartini akan terbuka ruang berkarya yang lebih luas lagi. (Oleh.Herman Siregar)

Meninjau Ulang Emansipasi

Penulis: Redaksi Asy-Syariah

Masalah kewanitaan dalam Islam menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan kalangan feminis. Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah dalam agama ini terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.

Adalah sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya. Makanya syariat pun memayungi perbedaan ini dengan adanya fiqh yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan fiqh yang dikhususkan bagi perempuan.

Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang mana punya ikatan yang kuat dengan anak. Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.

Hal-hal di atas bersifat kodrati, bukan label sosial yang dilekatkan (sebagaimana sering didalilkan kaum feminis). Semuanya itu merupakan tatanan terbaik yang diatur Sang Pencipta, Allah l. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa sebagai suami istri. Namun tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja emansipasi yang mengemasnya sebagai “kesetaraan” jender, yang mana hal itu telah diklaim sebagai simbol kemajuan di negara-negara Barat.

Para feminis dan aktivis perempuan itu seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang berbau Barat. “Akidah” ini, sekaligus merupakan potret dari sebagian masyarakat Islam sekarang. Di mana busana, kultur, sistem politik (demokrasi) hingga makanan ’serba Barat’ telah demikian kokoh menjajah ‘gaya hidup’ sebagian kaum muslimin.

Demikian juga emansipasi. Propagandanya telah memperkuat citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga -yang jamak ditekuni oleh sebagian besar muslimah-, bahwa berkutatnya wanita dalam wilayah domestik dianggap keterbelakangan sebelum bisa menapaki karir.

Falsafah ini kian diperparah dengan paham yang mendewakan kecantikan fisik. Alhasil, ada wanita yang tidak mau menyusui, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, dan sebagainya, (konon) demi semata menjaga “bentuk tubuh”. Sedemikian rusaknya pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan (karir).

Sejatinya, jika mau jujur, emansipasi tak lebih dari “produk gagal” dari industri peradaban Barat. Hanya karena kemasan alias silau terhadap kemajuan (fisik) Barat kemudian lahirlah pemahaman bahwa kemunduran negara-negara Islam disebabkan tidak mengikuti Barat, seakan menjadi harga mati.

Padahal kalau kita menilik sejarah, bukan teknologi atau tatanan pergaulan ala Barat sekarang yang membuat Islam jaya di masa silam. Apa arti teknologi jika tidak diimbangi keimanan. Yang terjadi, teknologi justru kemudian digunakan untuk membunuh, mengeksploitasi alam, menjajah negara lain apalagi hanya dengan dalih menangkap gembong teroris, memainkan perannya sebagai polisi dunia, serta menjerat negara berkembang dengan hutang plus (intervensi politik).

Negara Barat seakan tutup mata dengan keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya angka perceraian, meratanya seks bebas, meningkatnya homoseksualitas (karena dilegalkan), kentalnya praktik rasial (terhadap warga non kulit putih), dan sebagainya.

Makanya jika kita masih saja berkaca dengan Barat, sudah saatnya kita meninjau ulang emansipasi!

Artikel-artikel seputar wanita dan Emansipasi

Emansipasi atau Deislamisasi?
Propaganda Emansipasi Wanita
Emansipasi, Propaganda untuk Meruntuhkan Aqidah
Emansipasi Wanita, Propaganda Musuh-musuh Islam
Islam Mengajarkan Keadilan, Bukan Persamaan dalam Segala Hal
Surat An-Nisa’, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita
Berita Kenabian atas Kepemimpinan Wanita
Menyoal Kiprah Muslimah
Hak-Hak Wanita yang Sempurna dalam Islam dan Hijab yang Syar’i
Wanita Kurang Agamanya?
Halilintar kepada Penolak Poligami
Poligami, Anugerah yang Terzhalimi
Kecemburuan Wanita dan Hikmah Ta’addud (Poligami)

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 38/1429H/2008, Kategori: Pengantar Redaksi & Sajian, Judul: Meninjau Ulang Emansipasi, hal. 2. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=610)

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/membantah-feminis/meninjau-ulang-emansipasi-ada-apa-dengan-emansipasi/

2 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Asslamu’alaikum
    sesungguhnya para wanita sekrang udah lupa dengan kodrat x hingga pudar antara imam dan ma’mum.ujg2x mrekalah yg rugi,(mf) ujg2 x wnita dieksploitasi,untk berkarier dan bkrja hgga lupa dgn kemuliaan x bxk bertbran dirumah bkn di jalan atau diluar,dan jga bkrja berkarier x dgn pakaian ketat hgga berpakaian tpi telanjang krna dikomersilkan

    klo yg dipikrkan emansipasi mghlgkn kemuliaan x sndri

    ingatkah siapa ssghx pahlawan wanita?? ))

    InsyaAllah

    dan kukutip bbrapa ulsan dcctan inilah??

    Qandar Delima M'maukhi-zea

    April 23, 2012 at 14:15

  2. Perempuan dan anak perempuan adalah pihak yang paling banyak tidak menikmati hak pendidikan. Saat ini, sebanyak 75 juta anak diabaikan haknya untuk menikmati pendidikan. Sekitar 55 juta di antaranya adalah perempuan (Matshuura, 2010). Perlu kampanye besar-besaran dari semua pihak peduli pendidikan untuk menagih tanggung jawab pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak-hak kaum perempuan memperoleh pendidikan.

    H Aam Hamizar Nas

    May 12, 2011 at 08:23


Bagaimana menurut Anda?