طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

Bernarkah Tuduhan Bahwa Salafy-Wahaby adalah: MURJI’AH KEPADA PENGUASA DAN KHAWARIJ TERHADAP PARA DA’I..??

with 7 comments


Ahlus Sunnah Bukan Khawarij (Syubhat Khawarij Ke-5)

Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

Di samping tuduhan kaum hizbiyyun (KGB) terhadap ahlus sunnah (salafiyyin) dengan ‘murji’ah kepada penguasa’, mereka juga menuduh ahlus sunnah ‘khawarij terhadap para da’i’. Entah apa yang mereka maksudkan dengan istilah ‘khawarij terhadap pada da’i’. Apakah karena ahlus sunnah banyak mentahdzir dan memperingatkan umat dari bahaya da’i-da’i penyesat umat?

Tuduhan mereka terhadap ahlus sunnah dengan dua jenis kesesatan –yakni murji’ah dan khawarij– adalah karena mereka sendiri memiliki dua jenis kesesatan. Khawarij yang murni dia akan menuduh ahlus sunnah sebagai murji’ah. Sebaliknya murji’ah yang murni dia akan menuduh ahlus sunnah sebagai khawarij. Namun KGB ini mencampur antara pemahaman khawarij dengan murji’ah. Ketika menghadapi kedhaliman penguasa, mereka mengikuti cara khawarij; sedangkan ketika membutuhkan banyaknya pengikut dalam melawan penguasa, mereka menggunakan cara murji’ah, yaitu menganggap semua aliran dan kelompok adalah mukmin yang sempurna imannya.  Mereka juga mengajak untuk tidak menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di antara mereka agar tidak terjadi perpecahan –-kata mereka—

Dengarlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menceritakan tentang pemahaman murji’ah: “Di samping golongan yang mengkafir-kafirkan kaum muslimin dengan batil, ada pula golongan yang tidak mengenali aqidah ahlus sunnah wal jama’ah sebagaimana mestinya, atau mengenali sebagiannya tetapi tidak mengerti sebagian lainnya. Sebagian yang mereka kenali itu  pun mereka sembunyikan dan tidak menerangkannya kepada manusia. Mereka tidak melarang kebid’ah-kebid’ahan yang jelas menyelisihi kitab dan sunnah, tidak mencerca ahlul bid’ah, tidak menghukumi mereka. Bahkan sebaliknya mereka mencela orang-orang yang berbicara tentang sunnah dan prinsip-prinsip agama secara mutlak. Mereka tidak bisa membedakan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dan apa yang dikatakan oleh ahlul bid’ah dan golongan pemecah belah umat. Mereka mengakui semua madzhab-madzhab sesat yang bermacam-macam, seakan-akan seperti yang dilakukan oleh ulama terhadap masalah-masalah ijtihadiyah yang dimaklumi perselisihan yang terjadi padanya. Cara seperti ini telah merasuk sebagian besar murji’ah. Masing-masing dari dua cara mereka (murji’ah dan khawarij)  adalah jalan yang sesat keluar dari al-Qur’an dan as-Sunnah”. (Lihat Fatawa, juz 12 hal. 467)

Sungguh sangat miripnya kemarin dengan hari ini. Seakan-akan Ibnu Taimiyah berbicara tentang ikhwanul muslimin, Quthbiyyin, sururiyyin dan lain-lain dari KGB yang ada sekarang ini tidak mau mengingkari kebid’ah dan ahlul bid’ah.

Berarti hizbiyyun tersebut di samping menganut pemikiran khawarij ketika menghadapi penguasa ternyata dalam sikapnya terhadap ahlul bid’ah persis seperti murji’ah.

Inilah yang menyebabkan mereka menuduh ahlus sunnah dengan dua model kesesatan, ketika ahlus sunnah tidak mau diajak memberontak penguasa muslim, mereka menuduhnya sebagai murji’ah. Sebaliknya ketika ahlus  sunnah menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan menyatakan yang sesat adalah sesat dan mentahdzir ahlul bid’ah, maka mereka pun menuduhnya sebagai khawarij.

Tuduhan demikian sangatlah tidak tepat karena beberapa hal:

Pertama, murji’ah termasuk kelompok yang menghalalkan darah penguasa yang dhalim, sedangkan ahlus sunnah tidak menghalalkan darah mereka kecuali kalau terlihat kekafiran yang nyata-nyata. (Lihat kajian edisi yang lalu)

Kedua, khawarij mengkafirkan kaum muslimin dengan batil dan menganggap dosa besar akan mengeluarkan seseorang dari keislaman serta menghalalkan darah mereka. Sedangkan ahlus sunnah wal jama’ah tidak mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa besar.

Ketiga, bahkan amalan-amalan kufur ahlul bid’ah kalau dilakukan dan diucapkan dengan ta’wil-ta’wil batil, para ulama tidak mengkafirkannya, tetapi mereka tetap menjulukinya sebagai ahlul bid’ah atau pengikut hawa nafsu dan memperingatkan umat dari bahaya mereka.

Lantas dari mana mereka menuduh ahlus sunnah (salafiyyun) sebagai khawarij terhadap para da’i? Apakah tahdzir kita terhadap ahlul bid’ah dianggap pengkafiran? Apakah menasehati umat agar berhati-hati dari kesesatan tokoh-tokoh sesat adalah caranya khawarij? Atau apakah amar ma’ruf nahi mungkar adalah jalan khawarij? Pernahkah ahlus sunnah mengkafirkan kaum muslimin dengan dosa-dosa besar yang mereka lakukan? Atau apakah kita mengkafirkan para da’i-da’i hizbiyyin dan menghalalkan dari mereka?

Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka telah menghalalkan darah ahlus sunnah salafiyyin di banyak tempat.  Di Afghanistan, semua kelompok bersepakat untuk menyerang kelompok ahlus sunnah di Kunar, sehingga tertumpahlah darah dan korban yang tidak sedikit dari ahlus sunnah termasuk syaikh Zamilurrohman rahimahullah. Di Yaman, mereka memberondong salafiyin murid-murid syaikh Muqbil rahimahullah dengan senjata api.  Bahkan tidak sekali dua kali ditemukan bom di tengah-tengah majlis salafiyyin yang diletakkan oleh mereka. Hanya saja di Indonesia, mereka cuma berani mengancam para da’i ahlus sunnah lewat telepon atau lainnya karena mereka belum memegang senjata.

Berbeda sekali dengan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang melaksanakan kewajiban mereka menasehati manusia dari bahaya-bahaya yang dikhawatirkan akan mengenai mereka. Terutama bahaya kesyirikan dan kebid’ahan. Maka mereka para ulama ahlus sunnah sejak zaman salafus shalih sampai hari ini mereka selalu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, memperingatkan kaum muslimin dari bahaya ahlul bid’ah dan kesesatan mereka dilandasi dalil-dalil yang ilmiah dari Qur’an dan sunnah dengan pemahaman salaf. Mereka jauh dari dorongan emosi yang biasanya membawa pada ekstrimitas, dan juga jauh dari perasaan ketimuran yang biasanya membawa pada kelemahan. Yang kedua-duanya (emosi dan perasaan) disebut oleh para ulama dengan hawa nafsu.

Maka sama saja apakah khawarij yang sesat karena mengikuti emosinya atau murji’ah yang menyimpang karena mengikuti perasaannya, mereka disebut pengikut hawa nafsu atau ahlul ahwa.

Sikap ulama ahlus sunnah yang bijaksana ini adalah sikap yang terpuji.  Karena mereka adalah orang yang memperhatikan kaum muslimin seperti orang tua yang memperhatikan anak-anaknya. Memperingatkan dari bahaya-bahaya yang mengancamnya, menegur ketika mereka salah, bahkan memarahinya ketika mereka tidak mau mendengar teguran dan seterusnya semuanya itu dilakukan karena rasa sayang orang tua kepada anaknya.

Para ulama lebih sayang kepada mereka melebihi dari orang tua mereka sendiri. Orang tua biasanya hanya memperhatikan masalah keduniaannya, sedangkan kami memperhatikan mereka sampai pada masalah akhiratnya.

Berkata Abu Shalih al-Farra: “Aku pernah menyampaikan kepada Yusuf bin Ashbat tentang perkara fitnah. Kemudian dia menyatakan: “Orang itu sama dengan gurunya yaitu Hasan bin Hay”. Maka aku katakan kepadanya: “Apakah engkau tidak takut kalau yang demikian merupakan ghibah?”  Dia menjawab: “Mengapai wahai orang bodoh? Aku lebih baik terhadap mereka melebihi dari bapak dan ibu mereka sendiri. Aku melarang manusia untuk mengerjakan kebid’ahan mereka, agar jangan bertumpuk dosa-dosa mereka. Dan barangsiapa yang memuji mereka justru akan membikin kerugian kepada mereka”. (at-Tahzib, 2/249; Lihat Lamud Duril Mantsur, hal. 27)

Lihatlah kacamata ahlus sunnah yang memandang tahdzir kepada ahlul bidah sebagai kasih sayang terhadap mereka. Sebaliknya orang yang memuji-muji ahlul bid’ah akan menambah mereka semangat dalam kesesatannya dan bertambah pengikutnya.  Yang demikian justru akan menambah dosa mereka.

Diriwayatkan bahwa Muhammad bin Hasan bin Harun al-Mushili bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) tentang tokoh sesat yang bernama Husein al-Karabisy yang berpendapat bahwa Qur’an adalah makhluk dan bukan ucapan Allah. Maka Imam Ahmad menjawab: “Wahai Abu Abdillah (al-Mushili) hati-hatilah kamu dari Karabisyi ini, jangan ajak bicara dia!. Dan jangan ajak bicara orang yang berbicara dengannya!”. Ucapan ini diulang-ulang hingga 4  atau 5 kali.  (Tarikh Baghdad, 8/65; Lihat Lamud Duril Mantsur, hal. 28)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Jika nasehat itu adalah wajib dalam perkara agama maupun perkara umum, seperti para penukil-penukil hadits yang keliru dalam meriwayatkan atau berdusta, sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya Ibnu Sa’id, aku bertanya kepada Malik, Ats-Tsauri, Al-Laits Ibnu Sa’ad dan saya kira juga al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh berdusta dalam periwayatan hadits atau tidak hafal? Mereka menjawab: “Terangkan keadaannya?”. Kemudian sebagian mereka bertanya keapda Imam Ahmad: “Sesungguhnya berat bagiku untuk mengatakan fulan begini dan begitu”. Beliau menjawab: “Jika engkau diam dan akupun diam, darimana orang bodoh akan mengerti hadits shahih dari hadits yang dlaif?”

Maka seperti tokoh-tokoh ahlul bid’ah yang menyimpang yang memiliki ucapan-ucapan yang bertentangan dengan kitab dan sunnah, atau peribadatan yang menyelisihi kitab dan sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka hukumnya wajib. Demikian pula menerangkan kepada umat bahaya mereka hukumnya wajib dengan kesepakatan para ulama kaum muslimin.

Bahkan pernah dikatakan kepada Imam Ahmad seseorang yang berpuasa, shalat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau yang membicarakan kesesaan ahlul bid’ah? Beliau menjawab: “Kalau seorang berpuasa, shalat, dan i’tikaf maka itu adalah untuk pribadinya. Sedangkan yang berbicara tentang ahlul bid’ah, maka itu adalah untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, maka ini lebih utama”.

Di sini beliau menjelaskan bahwa berbicara tentang ahlul bida’h manfaatnya sangat umum, untuk seluruh kaum muslimin dalam menyelamatkan agama mereka. Maka ini termasuk jenis jihad di jalan Allah. Karena membersihkan jalan Allah, agama Allah, manhaj dan syari’at-Nya dan juga membentengi kaum muslimin dari kejahatan musuh-musuhnya wajib hukumnya secara kifayah (fardlu kifayah) menurut kesepakatan para ulama kaum muslimin.

Kalau tidak ada yang menjaga kaum muslimin dari kejahatan mereka (ahlul bid’ah) maka akan rusak agama. Dan kerusakan ini lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh masuknya musuh-musuh Islam yang memerangi kaum muslimin. Yang demikian karena mereka jika menguasai suatu kaum muslimin tidak merusak hati dan agama secara langsung, sedangkan ahlul bid’ah itu jika menguasai kaum muslimin akan langsung merusak hati-hati dan agama mereka. (Majmu’ Fatawa, 28/231, 232)

Dengan demikian sikap ahlus sunnah memperingatkan umat dari bahaya tokoh-tokoh penyesat dan pemecah-belah umat adalah wajib menurut seluruh para ulama bahkan merupakan jihad fi sabilillah. Maka tidak bisa sedikit pun disamakan dengan khawarij yang mengkafir-kafirkan kaum muslimin dengan kebatilan. Wallahu a’lam.

SUMBER :  Ahlus Sunnah Bukan Khawarij (Syubhat Khawarij Ke-5), Buletin Manhaj Salaf, edisi 35/Th 1 Tanggal 29 Jumadil Awal 1425 H/25 Juni 2004 M

Written by أبو هـنـاء ألفردان |dr.Abu Hana

May 26, 2010 at 02:42

7 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Mumet! Back to PDI Perjuangan….

    Tohpati

    February 17, 2012 at 16:11

  2. ketika mujahidin telah membentuk khilafah yang menegakkan hukum sesuai dengan syariah islam, nanti akan muncul khawarij sesungguhnya yang memberontak daulah islamiyah yang sudah didirikan, apakah datang dari kelompok anda? kita sama2 menunggu

    Hadi

    November 22, 2011 at 12:17

  3. Jangan samakan khalifah dg thagut demokrasi. Khalifah pengusung syariah. Thagut demokrasi penentang syariah. Dan yg menulis artikel ini tolong belajar dari kitab jangan internet yg hanya stengah2.

    @ anda pun jangan menyamakan antara orang yang dengan terang-terangan menentang hukum Allah (meyakini bahwa UUD dan hukum manusia lebih baik dari hukum Allah) dengan orang-orang bodoh yang belum faham hukum-hukum Islam atau karena posisi dan jabatannya sehingga menggunakan hukum manusia. Dan yang mengomentari artikel ini tolong jangan belajar dari ustadz stengah2 yang belajar otodidak tanpa pernah bermajelis langsung dihadapan ulama ahlussunnah.

    Anairhabiyun

    August 26, 2010 at 20:58

  4. tp bukankah yg dimaksud “tidak memberontak pd penguasa yg muslim” dlm hadits2 itu adalah khalifah? Khalifah umat islam…..

    @ Khalifah, amir/umara’ (pemerintah) secara umum bermakna sama yakni pemimpin yang mengurusi kepentingan rakyatnya. Dalam hadits-hadits berikut menunjukkan wajibnya taat kepada pemerintah, dan jika diperhatikan tidak disebutkan kata-kata “khalifah” namun justeru amir.. maka telitilah dengan seksama :

    Dari Ibnu Abbas radhiallaahu ‘anhu, dia berkata: ”Rasulullah  bersabda:

    “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

    WAJIB TAAT WALAUPUN JAHAT DAN DZALIM

    Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan Rasulullah , adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, dzalim, atau melakukan banyak kejelekan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah dengan memberikan hak mereka, yaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
    Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud z, dia berkata: “Rasulullah  bersabda:

    ‘Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak -red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari’. Mereka (para shahabat -red) bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau berkata:

    “Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

    Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim z. Dia berkata: “Kami mengatakan: Wahai Rasulullah  kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu…(disebutkan kejelekan-kejelekan), maka Rasulullah  bersabda:

    ‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’ (Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam As-Sunnah dan lain-lain. Lihat Al-Wardul Maqthuf, hal. 32)
    Berkata Ibnu Taimiyyah t: “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap kedzaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah  dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hal. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir)
    Sedangkan menurut Al-Imam An-Nawawi t: “Kesimpulannya adalah sabar terhadap kedzaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kedzaliman mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)

    Berkata Ibnu Hajar t: “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari)

    Selengkapnya baca : https://kaahil.wordpress.com/2010/03/09/mengapa-kami-membela-pemerintah-walaupun-kkn-ketahuilah-berunjuk-rasa-demonstrasi-adalah-nahi-munkarnya-kaum-khawarij-teroris-yang-dipelopori-yahudi/

    anonim

    June 5, 2010 at 18:15

  5. Jazakalaahu khoir
    izin kopas di blog ana

    @ Tafaddholu..silahkan.

    abu ibrahim

    May 30, 2010 at 06:23

  6. Bismillah..Assalamu’alaykum..Akhi, syubhat 1 sampai 4nya ana bisa baca di mana ya? Ada gak ya di blog antum ni? Jazaakallahu khairan..Baarakallahufiikum..

    @ Wa’alaikumussalaam Warohmatullaahi Wabarokaatuh.

    silahkan di : http://muhammad-assewed.blogspot.com/
    http://muhammad-assewed.blogspot.com/2007/12/syubhat-khowarij-1.html
    http://muhammad-assewed.blogspot.com/2007/12/syubhat-khowarij-2.html
    http://muhammad-assewed.blogspot.com/2008/03/syubhat-khowarij-3.html

    Abu Fadhil

    May 27, 2010 at 17:04

  7. ibnu taymiyah dulu juga melawan penguasa muslim (yang beragama islam) karena pemerintahan mereka berhukum dasar pada ilyasiq bukan pada al quran wa assunnah..persis spt skrg grundnorm nya uud 45 sbg summber dr segala sumber hukum TERTINGGI…

    @ Waduh, sumber diatas dari mana kang? bisa dituliskan disinih..?

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله hidup pada zaman penguasa yang memiliki berbagai macam penyimpangan dan kesesatan yang sangat jelas. Bahkan beliau sempat ditangkap dan disiksa oleh penguasa karena berpegangnya beliau dengan aqidah ahlus sunnah wal jama’ah dan membantah semua firqah-firqah sesat dan beliau pun dipenjara berkali-kali sampai wafatnya dalam penjara bawah tanah di Damaskus. Namun toh dia tetap menyampaikan prinsip untuk tidak memberontak kepada penguasa, dan jangan mencabut tangan dari ketaatan karena akan membawa bencana yang lebih besar terhadap kaum muslimin. (Lihat Wujub Thaati Shultan, Muhammad bin Nashir al-Uraini, hal. 22)

    Bahkan jihadnya beliau رحمه الله melawan Tartar adalah diminta oleh penguasa ketika itu agar dia memberikan semangat jihad kepada kaum muslimin untuk melawan Tartar dan beliau pun mentaatinya. Beliau akhirnya dikeluarkan dari penjara untuk memberikan semangat jihad kepada kaum muslimin dengan hujjah dan dalil-dalil.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun tetap mengatakan dalam kitabnya Siyasah Syar’iyyah. Beliau berkata: “Demikian pula semua kewajiban-kewajiban seperti jihad, keadilan, haji, Jum’at dan hari raya, membela orang yang didhalimi dan menegakkan hukum had tidak akan terwujud kecuali dengan pemerintahan dan kekuatan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa penguasa adalah naungan dari Allah di muka bumi. Dan dikatakan pula bahwa enam puluh tahun bersama penguasa yang jahat lebih baik daripada satu malam tanpa penguasa. (Siyasah Syar’iyyah yang terkandung dalam Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 390-391)

    aziz

    May 26, 2010 at 09:38


Bagaimana menurut Anda?