طبيب الطب النبوي Dokter Pengobatan Nabawi

Islam, Hukum, Sholat, Tatacara

Bolehkah Tidak Puasa Bagi Pekerja Berat dan Musafir (Bepergian/Dalam Perjalanan) di Bulan Ramadhan ?

with 4 comments


Puasa Ramadhan bagi Pekerja Berat

1. Pertanyaan: Saya berada di salah satu negara Arab kemudian saya datang ke sini (Arab Saudi, -pent) karena alasan pekerjaan dan tiba bulan Ramadhan sementara saya tidak mempunyai harta benda sedikitpun. Jika keadaan seperti ini saya terpaksa berbuka dan bekerja. Apakah saya berdosa dalam hal seperti ini?

Jawaban: Pekerjaan tidaklah menyebabkan bolehnya berbuka di bulan Ramadhan, karena berbuka hanya boleh bagi orang yang sakit dan musafir, haid, hamil dan menyusui jika keduanya (hamil dan menyusui, -pent) takut kepada dirinya (mudharat) atau terhadap anaknya.

Adapun pekerjaan maka hal tersebut tidak menyebabkan bolehnya berbuka. Orang yang bekerja tetap bekerja dan berpuasa. Jika dia tidak kuat untuk bekerja dalam keadaan berpuasa maka dia tinggalkan pekerjaan tersebut dan mencari pekerjaan yang lain yang bisa dia kerjakan sambil berpuasa. Dan pekerjaan itu banyak.

Kesimpulannya orang yang bekerja tidak boleh berbuka karena dia mukim, tidak safar, dan juga dia sehat tidak sakit, dan dia tidak mempunyai udzur dari udzur-udzur yang disyariatkan yang diberi keringanan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka. Maka wajib bagi dia untuk bekerja dan berpuasa dan wajib bagi dia untuk mencari pekerjaan yang tidak bertentangan dengan puasanya. Dan pekerjaan itu banyak. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberikan jalan keluar dan memberi rizki padanya dari arah yang dia tidak sangka-sangka.

Dan kaum muslimin tetap berpuasa semenjak Allah wajibkan puasa, mereka bekerja dan berpuasa, mereka tidak meninggalkan puasa karena pekerjaan walaupun diketahui mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat dan sangat melelahkan, walaupun demikian tidak dikenal dalam sejarah Islam atau dari Salafus Shalih bahwasanya mereka berbuka karena pekerjaan sementara mereka sedang mukim dan sehat. Wallahu a’lam dan wajib atasmu wahai muslim untuk bertaubat kepada Allah atas yang telah engkau lakukan berupa ifthar (berbuka puasa) di siang hari bulan Ramadhan serta wajib atasmu untuk mengganti hari berbukamu.
(Fatwa Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hal 137/nomor 210)

2. Pertanyaan: Apa pendapat Syaikh pada orang yang pekerjaannya berat dan sulit baginya untuk berpuasa. Apakah dia boleh berbuka (tidak berpuasa)?

Jawaban: Yang saya pandang dalam permasalahan ini adalah tidak berpuasanya dia dengan alasan pekerjaan adalah sesuatu yang diharamkan dan tidak diperbolehkan. Jika tidak memungkinkan baginya untuk menggabungkan antara pekerjaan dan puasa (berpuasa sambil bekerja). Maka hendaknya dia meminta cuti selama bulan Ramadhan, sebab puasa Ramadhan salah satu rukun dari rukun-rukun Islam yang tidak boleh dilalaikan.
(Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad ibnu Shalih ‘Utsaimin nomor 395)

Sumber: Majalah An-Nashihah vol. 07 / 1425 H, halaman 11 & 12

* * *

Puasa Ramadhan bagi Musafir

Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsary

Saudara-saudaraku kaum muslimin -rahimakumullah-, kehadiran bulan suci Ramadhan di tengah-tengah kita sungguh membawa berkah yang besar di mana Allah melipatgandakan pahala amalan-amalan di dalamnya, dibukanya pintu-pintu surga dan berkah, serta fadhilah-fadhilah lainnya.

Sebagai seorang muslim tentunya kita ingin segala aktivitas yang dilakukan tidaklah mengganggu shoum yang sedang kita jalani. Di sisi lain kita meyakini bahwa agama ini tidaklah menyulitkan para pemeluknya sebagaimana pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abu Hurairah, “Sesungguhnya agama ini mudah.” Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan keringanan untuk berbuka dari shoumnya bagi siapa saja yang memiliki udzur syar’i seperti sakit atau musafir (yang sedang mengadakan satu perjalanan) atau yang lainnya.

Berkenaan dengan hal itu, menjadi satu hal penting jika kita mengetahui ahkam yang berkaitan dengan shoum atau berbuka bagi musafirin. Hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan dan taufiq.

A. Beberapa dalil tentang masalah ini:

* Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Q.S. Al Baqarah: 184).

* Dari hadits Aisyah bahwa Hamzah bin Amr Al Aslami bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku berpuasa dalam keadaan safar?” ? dan beliau adalah orang yang sering melakukan shoum ? Rasulullah menjawab, “Jika engkau berkehendak maka shoumlah, jika tidak maka berbukalah.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bolehnya shoum dan berbuka jika shoumnya nafilah (shoum sunnah).

* Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Kami bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang berpuasa tidak mencela kepada yang berbuka, demikian pula sebaliknya yang berbuka tidak mencela kepada yang berpuasa.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim). Hadits ini lebih dekat pendalilannya atas kebolehan shoum Ramadhan dalam keadaan safar.

* Dari Abu Darda, ia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah di bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca sangat panas, sampai-sampai seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena saking panasnya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rowahah.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim). Hadits ini dalil bolehnya berbuka dan bolehnya shoum di bulan Ramadhan.

* Dan masih banyak hadits-hadits lainnya dalam masalah ini.

B. Berbuka bagi yang musafir

Dibolehkan bagi yang musafir untuk berbuka berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas dalam Al Qur’an surat Al Baqarah: 184, dan telah dinukil pula ijma’ (kesepakatan) sebagian besar dari kalangan ahlul ilmi, sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan tidak boleh bagi musafir untuk berpuasa, kecuali kalau tidak mampu untuk shoum, maka hendaknya ia bertaubat. Jika tidak, maka diperangi.” Dan berkata lagi, “Barangsiapa yang mengatakan yang berbuka dari shoumnya akan mendapatkan dosa hendaknya ia bertaubat.”

C. Shoum bagi yang musafir

Terdapat beberapa perbedaan dari kalangan ahlul ilmi tentang boleh dan tidaknya shoum bagi musafir, namun pendapat yang rajih dalam hal ini adalah bolehnya shoum bagi musafir dan ini pendapatnya jumhur ulama dengan dalil di antaranya hadits Abu Darda di atas.

D. Jika shoum ataupun berbuka dibenarkan dalam keadaan safar lalu mana yang lebih afdhal atau yang lebih didahulukan?

Sebagian kalangan ulama menyatakan yang lebih afdhal adalah shoum, jika keadaannya sama antara shoum maupun berbuka, yakni tidak menimbulkan lelah. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah madzhab Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah, dan yang lainnya. Mereka berdalil di antaranya dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 184).

Sebagiannya lagi seperti Imam Ahmad, Ishaq, dan jamaah dari para sahabat dan tabi’in berpendapat bahwa yang afdhal adalah berbuka. Adapun di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok para sahabat, di antaranya Anas bin Malik, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas secara marfu’, “Sesungguhnya Allah menyukai untuk didatangi rukhsoh-Nya (keringanan-Nya).” Dan hadits Jabir, “Bukanlah termasuk kebaikan shoum dalam keadaan safar.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh Muslim, “Hendaklah kalian dengan rukhsoh Allah bagi kalian.”

Berkata Ibnu Daqiqil ‘Ied, “Di dalamnya terdapat dalil bahwa disunnahkan untuk berpegang teguh dengan rukhsoh jika keperluan mendesaknya.”

Kesimpulan

Dari keterangan-keterangan di atas kita dapat melihat tentang kebolehannya bagi musafir untuk berbuka maupun berpuasa, namun kita dapat katakan bahwa sebaiknya dan afdhal bagi musafir untuk berbuka dengan syarat tidak memberatkannya di saat menqodhonya.

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Maraji’:

– Al Majmu’

– Al Muhalla

– Al Mughni

– Bidayatul Mujtahid

– Majmu’ul Fatawa

– Al Fath

– Ash Shohihah

– Ihkamul Ihkam

– Az Zaad

Sumber : Buletin Al-Wala’ wal Baro’ Edisi ke-1 Tahun ke-1 / 22 November 2002 M / 17 Ramadhan 1423 H

4 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. Bagaimana hukumnya kita bayar zakat fitrah dikampung halaman sendiri, sedangkan kita berada di rantauan orang. Thanks

    @ Boleh, tidak ada larangan mengenai hal tersebut. Wallaahu ‘alam
    informasi penting lainnya tentang zakat fitri di https://kaahil.wordpress.com/2009/09/15/tanya-jawab-seputar-zakat-fitrah-zakat-fithri/

    kairudin

    August 30, 2010 at 07:57

  2. […] This post was mentioned on Twitter by ummu hasan, dr. Abu Hana. dr. Abu Hana said: Bolehkah Tidak Puasa Bagi Pekerja Berat dan Musafir (Bepergian/Dalam Perjalanan) di Bulan Ramadhan ?: Puasa Ramadh… http://bit.ly/bPvlPg […]


Bagaimana menurut Anda?